Surabaya-(satujurnal.com)
Sitegang
antara para saksi, terdakwa dan penasehat hukum terdakwa mewarnai persidangan
kasus dugaan tindak pidana korupsi dengan terdakwa tiga mantan pimpinan DPRD
Kota Mojokerto di Pengadilan Tipikor Surabaya, Selasa (7/11/2017).
Delapan
anggota Dewan dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) sebagai saksi, yakni Febriana Meldyawati, Gusti Patmawati, Yunus
Suprayitno, Suliyat, Sonny Basoeki Rahardjo, Suyono, Aris Satriyo Budi dan
Gunawan.
Samsudin,
penasehat hukum terdakwa Abdullah Fanani sempat berang lantaran Sonny Basoeki
Rahardjo dan Aris Satriyo Budi mengelak pernah mendatangi Wiwiet
Febriyanto (mantan Kadis PUPR yang juga tertangkap KPK dalam operasi tangkap
tangan (OTT) bersama tiga pimpinan Dewan) dikantornya dan meminta uang sejumlah Rp 30 juta,
sebagian dari fee jasmas.
“Saudara
saksi dibawah sumpah. Tolong diingat lagi, soal uang tigapuluh juta rupiah itu.
Seperti termuat dalam BAP saudara,” lontar Samsudin.
Kedua
saksi yang duduk di Komisi II itu bersikukuh tidak pernah mengutarakan
permintaan uang puluhan juta rupiah itu, kecuali mempertanyakan proyek jasmas
yang tak kunjung digarap Dinas PUPR.
Pernyataan
kedua saksi itu berbuah ancaman. “Saudara saksi menantang saya pakai pasal 22 (pasal
‘keterangan palsu’ UU Tipikor),” tandas Samsudin.
Kedatangan
kedua anggota Dewan di kantor Dinas PUPR itu menurut Samsudin tidak bisa
dibenarkan. Apalagi, tanpa sepengetahuan pimpinan Dewan.
Keduanya
menepis, bukan tengah meminta uang, namun pinjam secara pribadi.
Sementara
pernyataan Sonny Basoeki Rahardjo yang mengaku tidak mengetahui akad dari uang tidak
resmi dibantah tegas oleh Abdullah Fanani.
“Saat
menyerahkan uang, untuk saksi dan dua anggota Fraksi Golkar, Hardiyah Santi dan
Anang Wahyudi total Rp 15 juta di kantor PKB, saya sampaikan kalau itu uang
pemberian Wiwiet Febriyanto. Saksi sekarang mengaku tidak tahu, itu bohong !,”
kata Abdullah Fanani.
Imam Subawi, penasehat hukum terdakwa Purnomo
mempertanyakan keterangan Sonny dalam BAP (berita acara pemeriksaan) penyidik
KPK yang menyatakan hanya menerima uang resmi dan sekali pun tidak pernah menerima uang tidak
resmi.
“Lalu uang lima juta rupiah yang saudara
terima itu apa juga uang resmi?,” sindir Subawi.
Dalam
persidangan dengan majelis hakim yang diketuai HR Unggul Warso Mukti, para
saksi kompak mengaku baru mengetahui asal uang Rp 5 juta yang mereka terima
dari pimpinan Dewan pasca terjadinya OTT.
Terdakwa
Purnomo, mantan ketua Dewan secara tandas menyatakan keterangan para saksi yang
mengaku tidak tahu asal uang Rp 5 juta tidak sesuai dengan fakta yang
sebenarnya.
“Semua
saksi mengaku baru mengetahui jika uang lima juta rupiah setelah kami bertiga
ditangkap KPK. Padahal, fakta yang sebenarnya mereka tahu kalau uang itu dari Wiwiet Febriyanto,” katanya.
Menguatkan
pernyataannya, Purnomo menantang Suliyat, salah satu saksi untuk berkata jujur.
“Saya
minta saksi (Suliyat) jujur. Sewaktu Wiwiet Febriyanto menyerahkan uang sebesar
seratus limapuluh juta rupiah di dalam mobil di parkiran MC Donald, Sepanjang,
posisi saksi satu dibangku tengah, sebelah kiri saya. Saksi tahu ketika Wiwiet
Febriyanto menyerahkan uang dalam kresek warna hijau. Bahkan saksi sempat
menelepon terdakwa Umar Faruq memberitahukan soal penerimaan uang sekaligus
menyayangkan jika ketua Dewan sendirian menerima uang tanpa didampingi dua
pimpinan lainnya,” beber Purnomo.
Menurut
Purnomo, tatkala Suliyat mengambil uang hasil pemberian Wiwiet Febriyanto di
kediamannya di Pulorejo, ia datang bersama istrinya.
“Saksi
datang bersama istrinya. Selain menerima uang, juga menanyakan kekurangannya.
Bahkan, saat pulang saya bawakan jeruk beberapa buah. Kalau tetap tidak ingat
ya kebangeten,” lontarnya.
Suliyat
mengaku lupa semua kejadian itu. Hakim pun mengingatkan agar Suliyat tidak
berbohong. “Masak diberi jeruk saja lupa. Ingat, kebaikan orang, dengan memberi
buah begitu,” singgung ketua majelis hakim, HR Unggul Warso Mukti.
Politisi
PDI Perjuangan itu pun mengangguk. Sikap plin-plan Suliyat rupanya ditanggapi
sinis pengunjung sidang. Pengunjung serempak berujar ‘huuuh..’. Tak pelak
kegaduhan kecil itu pun memantik reaksi majelis hakim.
“Saya
ingatkan, kalau pengunjung ramai, tidak tertib, akan saya keluarkan !,” tekan Unggul.
Sikap
Suliyat yang acapkali mengaku lupa sempat memicu kegeraman majelis hakim maupun
para penasehat hukum terdakwa.
Pun
kala diminta majelis hakim menjelaskan sikap para anggota Dewan yang tidak
setuju dengan proyek PENS, Suliyat lugas menyatakan tidak mampu untuk menjelaskan.
“Terus terang Yang Mulia, saya tidak bisa menjelaskan. Bukan saya tutup-tutupi, ini keterbatasan SDM saya semata,” akunya.
“Terus terang Yang Mulia, saya tidak bisa menjelaskan. Bukan saya tutup-tutupi, ini keterbatasan SDM saya semata,” akunya.
Keterangan
Gunawan juga menggugah kegelian majelis hakim. Gunawan mengaku tidak
memanfaatkan uang Rp 5 juta yang ia terima. “Tidak saya apa-apakan. Saya taruh
di bawah bantal tempat tidur saja,” akunya.
Seperti diketahui, tiga mantan pimpinan Dewan, Purnomo, Umar Faruq dan Abdullah Fanani duduk di kursi terdakwa lantaran terjaring OTT KPK bersama Wiwiet
Febrianto, mantan Kadis PUPR Kota Mojokerto, pada Jum’at (16/6/2017 hingga Sabtu
(17/6/2017) dini hari. Sekitar pukul 23.30 WIB KPK
mengamankan Purnomo, Umar Faruq dan Hanif di kantor DPD PAN Kota Mojokerto.
Dari dalam mobil milik Hanif, tim menemukan uang Rp 300 juta. Pada
saat yang bersamaan, tim juga mengamankan Wiwiet Febrianto di sebuah jalan di
Mojokerto dan mengamankan uang Rp 140 juta. Kemudian Tim KPK berturut-turut
mengamankan Abdullah Fanani dan Taufik di kediaman masing-masing. Dari tangan
Taufik, tim mengamankan Rp 30 juta. Setelah menjalani pemeriksaan awal di
Markas Kepolisian Daerah Jawa Timur, keenamnya diterbangkan ke Jakarta pada
Sabtu (17/6/2017) untuk menjalani pemeriksaan lanjutan di Gedung KPK. Hanif dan
Taufik, pihak swasta berstatus sebagai saksi. (one)
Social