WITO, kakek satu cucu berusia 60 tahun, warga Jl Prapanca 48, Kelurahan Mentikan, Kota Mojokerto tak bisa melewati hari tanpa minum obat berbentuk serbuk yang ia sebut puyer sebagai penghilang rasa sakit.
Kurun tiga puluh tahun terakhir, laki-laki yang tidak memiliki pekerjaan tetap ini tak sehari pun berhenti tanpa mengkonsumsi puyer penghilang rasa sakit merk Walangkerik.
Uniknya, semenjak ia ketagian minum puyer yang banyak ditemukan di pasaran secara bebas itu, selera makannya turun drastis. Sehari semalam, laki-kali bertubuh rentah yang mengaku piawai memainkan gamelan ini hanya makan satu kali, saat makan malam saja.
“Cukup makan satu kali sehari semalam. Tapi kalau tidak minum ‘Walangkerik’, rasanya ada yang kurang,” aku pria kelahiran Surabaya tahun 1952 yang ditemui di ruang kerja Kepala Kelurahan Mentikan, Sulikan, Selasa (06/11/2012).
Seraya menyobek bungkus kecil ‘Walangkerik’, Wito langsung menelan puyer tanpa dibarengi minum air putih. “Sudah biasa, kalau minum puyer ya tanpa air (air minum). Rasanya cuman getir sedikit,” ujarnya.
Dalam sehari, laki-laki istri Khoiriyah ini mengaku bisa mengkonsumsi puyer hingga 20 bungkus dalam jedah waktu hampir satu jam satu kali. “Paling sedikit, 12 bungkus,” kata Wito.
Menurut alumnus SMEA Negeri Kabupaten Mojokerto Tahun 1972 ini, harga sebungkus puyer andalannya Rp 500,- . Jika dalam sehari ia mengkonsumi 20 bungkus, setidaknya ia harus mendapatkan ‘uang ‘tebus Walangkerik’ Rp 10.000,- . Lumayan menguras kantongnya. Apalagi, ia tak memiliki penghasilan tetap kecuali mengandalkan pendapatan istrinya dari berdagang minuman ringan di Alun-alun Kota.
“Memang berat harus belanja puyer setiap hari ribuan rupiah. Tapi bagaimana lagi, sudah jadi keharusan,” akunya.
Penyuka lagu-lagu campur sari ini bertutur, tahun 1982, kali pertama ia mengkonsumsi obat yang dikemas bungkus kertas warna coklat bergambar binatang walangkerik itu, harganya Rp 25,- . “Harganya ya naik terus. Untungnya tidak sulit untuk mendapatkan obat ini. Di warung pun banyak yang jual,” katanya.
Meski begitu, ia enggan disebut ketagihan obat ‘mujarab’ berlabel walangkerik. “Bisa saja saya tidak minum. Tapi kalau tiba-tiba saja kepala saya pusing berat, mau tidak mau ya minum puyer lagi,” selorohnya.
Sayangnya, pria yang kini berusia enam puluh tahun itu mengaku lupa ikhwal ia jadi pecandu ‘Walangkerik’ . “Lupa saya. Tapi pertama kali, ya karena kepala saya pusing. Minum ‘Walangkerik’, cocok, keterusan sampai sekarang,” akunya.
Ia pun mengaku tak berpikir jauh soal bahaya dibalik ketergantungannya terhadap obat penghilang rasa sakit jangka panjang yang membuatnya adiktif dan melemahkan kondisi tubuhnya. “Saya tidak berpikiran sejauh itu. Buktinya, selama tiga puluh tahun saya minum obat ini, tidak ada reaksi negatif yang saya rasakan,” katanya seraya menunjukkan beberapa bungkus puyer Walangkerik, obat yang selalu ia kantongi, kemana pun ia melangkah menikmati masa tuanya. (one)
Social