Salah satu sudut desa Gempolkrep |
- Ajuan Bantuan Instalasi Air ke PG Gempolkrep Tak Direspon
Mojokerto-(satujurnal.com)
Air bersih layak konsumsi menjadi persoalan serius 1.200 KK (kepala
keluarga) yang tinggal di Desa Gempolkrep, Kecamatan Gedeg, Kabupaten Mojokerto.
Pasalnya, air yang didapat dari bawah tanah hanya dapat dimanfaatkan untuk
mandi dan cuci pakaian lantaran tingginya kandar besi (Fe).
Sayangnya, langkah perangkat desa setempat mengupayakan pembangunan
instalasi air bersih melalui pengeboran air dengan kedalaman lebih dari seratus
meter tak mendapat respon manajemen Pabrik Gula (PG) Gempolkrep yang notabene berada
di wilayah desa tersebut.
“Kami sudah mengajukan proposal bantuan dana untuk pengeboran dan
instalasi air bawah tanah untuk air bersih warga ke manajemen PG Gempolkrep.
Tapi sampai saat ini belum ada tanggapan sama sekali,” kata Kepala Desa
Gempolkrep, Jani Suprayogi, Sabtu (12/01/2013).
Padahal, lanjut Jani, kebutuhan air bersih bagi warga Desa
Gempolkrep sudah sangat mendesak. Selama ini untuk konsumsi, warga memilih
mengkonsumsi air isi ulang. “Semua warga mengkonsumsi air isi ulang. Karena air
sumur tidak layak konsumsi,” tukas Jani.
Yang diharapkan, PG Gempolkrep membantu sebagian dana pembangunan
instalasi air yang diperkirakan menghabiskan biaya Rp 275 juta. “Tidak semua
biaya kami bebankan ke PG Gempolkrep. Swadaya warga tetap ada. Meskipun diakui
atau tidak, kian jeleknya mutu air dampak limbah PG (PG Gempolkerp),” cetusnya.
Terpisah, Administratur PG Gempolkrep, Wahyudi Hendro Cahyono
menampik jika pihaknya disebut tak merespon kebutuhan warga soal air bersih.
Namun untuk membantu mendirikan instalasi air bersih dengan pengeboran raksasa
menurutnya bukan perkara yang mudah.
“Banyak prosedur yang harus dijalankan,
dari soal perijinan Badan Meteologi Bandung, ijin propinsi serta regulasi
lainnya. Jadi tidak sekedar hanya aktivitas pengeboran saja. Secara prinsip
kalau segala bentuk perijinan sudah dikantongi desa, kami siap mengucurkan
bantuan dana,” cetus dia.
Diingatkan Wahyudi, kualitas air di kawasan kecamatan Gedeg hampir
merata. “Kalau disebut mutu air rendah, semata karena kondisi tanah. Tapi kalau
disebut buruknya mutu air Desa Gempolkrep dampak limbah PG, harus dibuktikan
lebih lanjut. “Karena instalasi pengelolaan limbah PG bukan pola resapan, tapi
dengan bak kontrol,” tekannya.
Hal lain yang menyebabkan pihaknya menimbang seribu kali untuk
menyetujui bantuan dana, yakni skema produksi air minum dalam kemasan. “Karena
dinyatakan juga mengarah pada produk air minum dalam kemasan, tentunya kami
tidak sependapat. Karena arahnya sudah komersiil. Sementara bantuan yang
disalurkan PG harus murni untuk kebutuhan sosial,” tandas Wahyudi.
PG Gempolkrep, lanjut Wahyudi, condong memberikan bantuan untuk pembuatan
sumur dan pompa air untuk 75 rumah warga yang tidak mampu. Namun, tanpa alasan
yang jelas, pihak desa menolak. “Bantuan itu sedianya sudah tersalurkan tahun
2011, karena semua rencana sudah matang. Pihak desa hanya menunjuk rumah
sasaran saja. Tapi itikad PG justru ditolak. Ujungnya, tetap menghendaki
pengeboran air bawah tanah berkapasitas besar itu,” pungkas Wahyudi. (one)
Social