Geliat Si Manis Meretas Wisata - SatuJurnal.com | Portal Berita Mojokerto, Jombang, Surabaya, Jawa Timur dan Nasional

Geliat Si Manis Meretas Wisata

(ft:istimewa)
- Melihat Potensi PG Gempolkrep Sebagai Museum Hidup

LOKOMOTIF tua didominasi warna hitam yang dipancang di depan gedung utama Pabrik Gula (PG) Gempolkrep, Desa Gedeg, Kecamatan Gedeg, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur seolah menyambut kedatangan setiap orang yang berkepentingan dengan pabrik plat merah yang berhadapan dengan Sungai Brantas ini.

Lokomotif itu jadi bagian dari fragmen sejarah pabrik yang diawal pendirian, 5 Januari 1889 bernama 'Suiker Fabriek Gempolkrep' yang dimiliki N.V Kooy & Coster Van Voot Hout. Lalu, masa pendudukan Jepang, tahun 1943 pabrik ini berganti nama menjadi ‘Nitti Kabushiki Khaisha’. Pasca nasionalisasi tahun 1958 nama pabrik ini identik dengan nama desa letak pabrik berdiri.

Lokomotif itu tentunya bukan sekedar dipampang. Dimensi sejarah pabrik gula konon tak lepas dari kuda besi pengangkut tebu ini. Awam pasti tak sulit menebak, jika lori dan lokomotif identik dengan pabrik gula itu sendiri.

Namun tidak hanya armada buatan Belanda itu saja yang bisa dijadikan referensi sejarah. Di pabrik pengola tebu menjadi butiran putih berasa manis ini, beberapa bangunan tua, termasuk rumah dinas administratur seluas sekitar seribu meter persegi dan beberapa bangunan yang didirikan seabad silam dan hingga kini masih difungsikan, ujar Administratur PG Gempolkrep, Wahyudi Hendro Cahyono, bisa jadi jendela jika ingin melihat pasang surut pergulaan di Indonesia. Infrastruktur kokoh itu pun akan menjawab pertanyaan seberapa besar peran industri pangan ini di tengah pergulatan bangsa Indonesia melepas hegemoni bangsa lain.

Memasuki kawasan PG Gempolkrep sejatinya kita memasuki bagian dari sejarah Indonesia yang tersaji secara multidimensi dan interdisipliner. Beragam disiplin ilmu bisa dikuak jika kita memasuki dimensi yang bernama pabrik gula ini. Tidak saja lantaran sejumlah sarana dan prasarana sejak berdirinya pabrik ini masih dipertahankan, namun etos kerja industri ini disebut-sebut menjadi cerminan etos kerja bangsa Indonesia.

Potensi inilah yang akan ‘dijual’ PT Perkebunan Nusantara (PTPN X). Untuk ‘menjual’ PG Gempolkrep - satu dari sebelas PG dibawah PTPN X - di ranah wisata sejarah dengan mengandalkan bangunan dan benda berusia tua setara museum, menurut Sekretaris Perusahaan PTPN X, Ir M Cholidi , harus bersaing ketat dengan PG Tulangan yang memang lebih ‘kaya’ benda-benda berlabel cagar budaya. “Lebih pas kalau untuk urusan wisata, PG Gempolkrep dijadikan museum hidup,” kata Cholidi diujung Desember 2012 lalu, bak menawarkan sebuah sinyal.  

Kemasan yang bisa disajikan ke publik, ujar Cholidi, yakni produk-produk unggulan PG Gempolkrep, termasuk bioethanol. Tersirat jargon edukasi wisata dan wisata edukasi di museum hidup untuk mengusung PG Gempolkrep pada bingkai wisata.

“PG Gempolkrep sebagai museum hidup artikulasinya pada pengenalan dan penyebaran informasi serta membuka seluas-luasnya kesempatan kepada masyarakat untuk mengenal, memahami, mempelajari serta mencintai PG yang sejatinya tidak lepas dari nafas kehidupan bangsa ini,” ujar dia setengah berfilosofi.

Humas PTPN X, Firda Suraida menyebut, pengembangan wisata sejarah pabrik gula memang menjadi wacana yang digulirkan PTPN X. Dimensi historis pergulaan Indonesia dan pengemasan pola pariwisata di pabrik gula yang notabene berdiri di masa kolonialisme Belanda memang bisa dijadikan salah satu komoditas wisata sejarah, seperti halnya situs-situs dan cagar budaya lainnya.

“Hampir semua pabrik gula sudah berumur tua karena dibangun di masa kolonialisme Belanda. Jika dikembangkan dengan baik, potensi itu bisa dioptimalkan dengan membuat model wisata sejarah yang menarik,” kata Firda.

Keseriusan PTPN X untuk menggarap wisata sejarah, bak membongkar paradigma awam yang acap menyebut budaya pabrik gula steril dari urusan dunia luar. Tentunya, yang ditawarkan PTPN X bukan bingkai sejarah mati. Sejarah benda-benda kuno yang memang bisa diandalkan untuk dijadikan ikon wisata. Tapi lebih dari itu, tentunya PTPN X akan menawarkan wisata dengan konsep yang berbeda. Konsep yang bisa saja lepas dari teori-teori penggiatan wisata.

Jika PG Gempolkrep dikemas jadi destinasi wisata berlabel museum hidup, akan handal jika mampu memberikan kenyamanan bagi pengunjung untuk beredukasi tentang sejarah pabrik gula, membuka interaksi dengan awak-awak pabrik menyangkut segala kepentingan ilmu pengetahuan, riset dan lainnya. Dan tentunya yang tidak bisa ditinggalkan yakni komunitas yang melingkari PG. Karena masyarakat sekitar PG itulah sejatinya yang paling mewarnai PG dengan segala etos kerjanya.

PG Gempolkrep dan masyarakat sekitarnya adalah potensi bagi pengembangan wisata sejarah. Bukan wisata sejarah ‘mati’, namun sejarah hidup, sejarah yang lekat dengan konteks kekinian. Tentunya, agar terwujud, promosi harus jadi ujung tombak. Dan persepsi yang sama, antara PG, masyarakat dan pemerintah daerah menyangkut museum hidup bernama pabrik gula menjadi kunci sukses, tidak saja menjadi potensi bisnis PG, namun masyarakat sekitar dan pemerintah daerah pun akan merasakan manisnya berkolaburasi dengan PG. (ridwan)

Artikel terkait lainnya

Baca juga artikel ini

Copyright © SatuJurnal.com | Portal Berita Mojokerto, Jombang, Surabaya, Jawa Timur dan Nasional