NASIB ANGKUTAN KOTA (angkot) Kota Mojokerto kian tahun kian suram. Armada
publik berdimensi mini yang sempat jaya di era 90-an itu kini terseok-seok. Membanjirnya
kendaraan pribadi roda dua disebut jadi biang surutnya penumpang angkutan
massal berkapasitas sangat terbatas yang berkeliling di kota beradius enambelas
kilo meter persegi ini. Para sopir angkot kian tak berdaya untuk mendulang
rupiah di jalan raya. Sebagian mereka mulai pasrah, sebagian lagi mulai
‘migrasi’ ke pekerjaan lain.
Mobil buatan Jepang keluaran sepuluh tahun silam itu kini bak
pelengkap penderita di tengah ramainya lalu lintas kota. Melenggang menyusuri
rute dengan satu dua penumpang jadi pemandangan sehari-hari armada berwarna
kuning tua itu.
Pemilik angkot pun bak dihadapkan pada pilihan simalakama. Dioperasikan
tak menguntungkan, digarasikan berarti gulung tikar. Jika dioperasikan, pemilik
harus menyisihkan uang setoran untuk perawatan mesin dan uji kir serta pajak
kendaraan bermotor. Padahal, nilai setoran per hari yang kini pada kisaran Rp
30 ribu sampai Rp 35 ribu, tak cukup untuk menutupi tiga biaya utama itu.
Pilihan yang pahit pun banyak diambil pemilik angkot. Armada tetap
dioperasikan, meski dengan surat uji kir kedaluarsa. Kalau pun polisi menggelar
operasi, para sopir harus mahir kucing-kucingan jika tidak ingin periuknya
tertelungkup.
Jadi tidak aneh jika balai uji kir Dishubkominfo Kota Mojokerto memberi
raport merah pada genre angkutan massal ini, karena lebih dari separoh dari
total 86 unit angkot tak lulus uji kir.
Catatan Dishubkominfo itu tak jauh beda dengan yang dibeber Mei
Wibowo, ketua paguyuban sopir angkot lyn B. Pria berusia 45 tahun yang ‘rangkap-rangkap
jabatan’, jadi pemilik sekaligus sopir angkot, ketua paguyuban, juga ketua
litbang Organda Kota Mojokerto ini menyebut, dari jumlah angkot lyn A sebanyak
29 unit dan lyn B, 33 unit, nyaris separohnya ‘bodong’. “Bukan tidak layak
jalan, tapi STNK-nya mati. Karena STNK mati, ya tidak bisa ikut uji kir,”
ujarnya.
Jika ditotal general dengan lyn yang melayani wilayah kabupaten
Mojokerto, ujar Mei, deretan angkot yang mati uji kir bertambah panjang. “Angkot
lyn F sudah ‘hilang’, lyn E mungkin menyusul. Yang bertahan lyn C dan D. Itu
pun nasibnya sama persis dengan angkot lyn A dan B,” ujarnya tanpa bermaksud
berseloroh.
Soal sepinya penumpang, ia menggambarkan, dari satu putaran rute, acap
kali yang bisa dijaring hanya satu dua penumpang. “Dengan hanya dua penumpang,
saya tekor. Karena untuk bensin habis sekitar Rp 7.000. Sedang ongkos angkot
hanya Rp 2.500 per penumpang. Tekornya jadi kwardrat kalau penumpangnya anak
sekolah,” ujarnya.
Dalam sehari, biasanya ia mengambil lima putaran atau lima kali
masuk terminal. “Satu kali masuk terminal retribusinya Rp 500,” lagi-lagi ia
mengajak bermatematika penghasilan tanpa menyebut hasil akhir karena memang gampang
ditebak, berapa penghasilannya yang harus dikurangkan karena retribusi terminal.
Mei hanya satu dari puluhan pemilik angkot yang memutarkan roda
armadanya sendiri. “Karena banyak sopir angkot yang alih profesi, terpaksa pemilik
angkot yang ‘ambil alih’,” ungkapnya.
Kian terpuruknya angkot menyebabkan awak armada ini kian pesimis
untuk bisa bertahan. “Kalau kondisi ini berlangsung terus menerus, ya angkot
kota Mojokerto bisa tinggal nama saja,” keluh Mei.
Ia pun enggan berandai-andai jika pemerintah daerah
menggelindingkan program peremajaan angkot. “Tidak ada artinya kalau
penumpangnya tambah sepi,” katanya, tak bersemangat.
Keluh kesah sopir dan pemilik angkot sebenarnya sudah lama didengar
pemerintah daerah. Namun tidak banyak yang bisa diperbuat untuk menambah
stamina angkot.
Empat tahun lalu, Pemkot sempat mengguyur subsidi BBM. Subsidi itu
untuk angkot yang mau beroperasi malam hari. Semangatnya, agar penghasilan awak
angkot menanjak dan denyut kota Mojokerto kian hidup. Uji coba berjalan. Tapi
dalam hitungan hari para awak angkot pilih angkat bendera putih. Menyerah.
Apa kata awak angkot? “Pagi sampai sore saja sepinya begini, kadang-kadang saya tekor, kalau jam operasi
sampai malam hari, bisa-bisa saya kerja untuk menumpuk hutang,” ujar salah satu sopir angkot. (ridwan)
sampai malam hari, bisa-bisa saya kerja untuk menumpuk hutang,” ujar salah satu sopir angkot. (ridwan)
Social