Kabag Hukum Sekkota Mojokerto, Puji Harjono, |
Meski tidak termasuk materi sosialisasi gratifikasi, namun gratifikasi seks menjadi topik tersendiri yang menyedot perhatian peserta sosialisasi yang dihelat Bagian Hukum Sekkota Mojokerto di Balai Kota Graha Praja Wijaya, Selasa (19/03/2013).
Saat sesi tanya jawab sosialisasi yang menghadirkan nara sumber , Kabag Hukum Sekkota Mojokerto, Puji Harjono, Kasie Pidsus Kejaksaan Negeri Mojokerto Kejak Edwin Ignatius Beslar, Kasat Reskrim Polres Mojokerto, AKP Luwie Wibowo dan Kanit Pitkor Polres Mojokerto Kota, Iput Amat, muncul pertanyaan soal gratifikasi seks.
”Gratifikasi seksual dapat ditindak lanjuti menggunakan undang-undang tipikor. Meski begitu, undang-undang tersebut belum mampu mengakomodir seluruh aspek dalam gratifikasi seksual,” kata Edwin Ignatius Beslar .
Pertanyaan dari salah PNS di lingkup Pemkot itu terlontar tak lepas dari kasus dugaan impor daging sapi di Kementan beberapa pekan yang lalu. ”Kasus yang melibatkan petinggi partai politik itu membuka mata kita atas adanya dugaan praktek gratifikasi seksual di kalangan para pejabat atau penyelenggara negara kita,” lontarnya.
Praktek gratifikasi seksual, lanjut Edwin, dapat disamakan dengan praktek korupsi. Karena sama-sama tergolong sebagai kejahatan laten. ”Hanya saja, pada gratifikasi seksual, meski telah ditemukan, sangat sulit untuk dibuktikan,” imbuhnya.
Sementara itu, Puji Harjono mengatakan, secara yuridis substansi, pengertian gratifikasi adalah pemberian suatu barang bernilai, baik berwujud atau tidak berwujud terhadap pegawai negeri, pejabat atau penyelenggara negara dengan maksud agar mereka melakukan atau tidak melakukan suatu hal yang bertentangan dengan kewajiban dan tugasnya.
“Jika mengacu pada pengertian itu, maka gratifikasi berupa layanan seksual terhadap pejabat atau penyelenggara negara dapat dikonklusikan sebagai tindak pidana gratifikasi,” kata Puji.
Menurut Puji, berkaca pada kasus di negara Singapura yang sudah memberlakukan gratifikasi seksual sebagai bentuk aturan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, di Indonesia, gratifikasi seksual hanya menjadi konsumsi diskusi semata. ”Melihat penegakan hukum di Singapore terhadap penyelenggara negara, mungkin bisa dijadikan model penegakan hukum di sini (Indonesia),” katanya.
Sementara itu, sosialisasi yang dihelat Pemkot terkait himbauan gratifikasi dari kawat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bernomor B.143/01-13/01/2013, tertanggal 21 Januari 2013 yang diteken Ketua KPK Abraham Samad itu dipaparkan sejumlah rambu-rambu bagi PNS. Diantaranya, pejabat dilarang menerima gratifikasi yang berhubungan dengan jabatannuya dan berlawanan dengan kewajibn atau tugasnya sesuai pasal 12 B ayat 1 UU 20/2001 tentang Perubahan UU 31/1999 Tentang Pemberantasan Tipikor.
”PNS yang tidak melaporkan penerimaan gratifikasi diancam pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling lama Rp 1 miliar,” ujar Puji mengutip muatan UU 20/2001.(one)
Social