SEBUAH gubuk reyot yang tak patut disebut rumah, apalagi hunian layak, berdiri ringkih nyaris roboh diantara himpitan rumah di salah satu gang kumuh nan sempit di kampung Balongsari V, Kelurahan Balongsari, Kecamatan Magersari, Kota Mojokerto tiba-tiba jadi perhatian Walikota Mas’ud Yunus.
Birokrat ulama ini mendatangi Maimunah dan Shintia, penghuni gubuk berdinding anyaman bambu bersulam tikar dan seng bekas yang lapuk termakan waktu itu, Selasa (31/32015), untuk membuktikan cerita lara seorang anak yang menjadi tulang punggung keluarga sekaligus perawat sang ibu yang tengah mengidap depresi berat.
Sesaat usai berucap salam, orang nomor satu di Kota Mojokerto ini pun langsung menanyakan kondisi kesehatan Maimunah.
Mas’ud Yunus yang didampingi Kadis Kesehatan, Christina Indah Wahyu, Kadinsos, Mujiwati serta pejabat kelurahan dan perangkat kampung setempat ini membuka dialog dengan Maimunah.
Namun perempuan berperawakan kecil ini bergeming. Yang ditunjukkan, eskpresi mata yang kosong. Ia hanya sedikit tersipu seraya mendekapkan tangannya ke mulut yang ia tutupi kain katun warna hitam sewarna dengan jilbab yang dikenakannya.
Di tangan kanannya, ia menggenggam erat setumpuk lembaran semacam buku bank. Rupanya janda pegawai sebuah bank swasta ini terobsesi menggenggam angka-angka besar dalam rupiah. Sesekali bergumam dan menyebut nama bank. Namun bergeming tatkala walikota mulai memintanya agar mau berobat. Pun bujuk rayu walikota agar ia bersedia disuntik petugas medis agar bisa lebih tenang, ditolaknya mentah-mentah.
Empati Mas’ud Yunus rupanya dianggap angin lalu. Bisa jadi ia tengah keheranan. Di siang bolong, banyak manusia di sekeliling gubuk tinggalnya. Memang, Mas’ud Yunus sengaja mengajak bawahannya, tetangga dan awak media untuk menengok salah satu warganya yang butuh sentuhan moral dan sosial tersebut.
Sesaat perhatian walikota tertuju pada Shintia. Rona bahagia terpotret dari belia berusia 16 tahun berbadan mungil yang ditinggal mati Bapaknya kala ia berusia dua tahun ini.
Bertutur di hadapan walikota soal rutinitasnya, Shintia menyebut selalu bangun di pagi buta untuk menyiapkan segala kebutuhan sang ibu.
Tatkala matahari mulai terbit, ia beranjak menuju sekolahnya berjarak dua kilometer dengan mengayu sepeda angin pemberian seseorang menuju SMKN 1 di jalan Kedungsari, Kota Mojokerto tempat ia mendulang ilmu di jurusan teknik komputer dan jaringan. Pelajar kelas X ini terbilang pandai. Pretasinya cukup cemerlang. predikat juara kelas pun ia sandang.
Sepulang sekolah, hanya sejenak bersama ibunya. Usai bersantap siang dengan ibunya, ia mulai mendulang rupiah, bekerja di sebuah kedai di kawasan Kelurahan Meri, sekitar tiga kilometer dari kediamannya. Ia baru pulang sekitar pukul sembilan malam. Buku pelajaran baru ia buka tengah malam, seraya terus melayani ibunya.
Upah Rp 500 ribu ia kantongi sebagai imbalan kerja paruh waktu dalam sebulan. Uang hasil kerja itu pula yang ia putar untuk bertahan hidup awal bulan hingga bulan berganti.
Potret kemiskinan keluarga papa yang terbingkai serba ketidakmampuan hampir di segala hal, kecuali semangat Shintia inilah yang mendorong Mas’ud Yunus terus memberi angin sejuk.
Mas’ud Yunus pun mengaku tak merasa ‘kecolongan’ ditengah menggaungkan peningkatan index pembangunan manusia (IPM), pengentasan kemiskinan dan jaminan kesejahteraan sosial.
Ini lantaran dari cerita Shintia anaknya, tetangganya, perangkat kampung dan petugas kesehatan selaras menyebut jika Maimunah sulit diajak berperilaku hidup sehat. Beberapa kali petugas kesehatan membawanya ke RSJ Menur Surabaya, namun sedikit saja merasa sembuh, ia kembali pulang. Tak berapa lama, ia pun kembali menunjukkan gelagat depresi.
“Dari informasi dan data dinas kesehatan, bu Maimunah ini sudah beberapa kali berobat ke RSJ Menur dan nantinya kita tetap upayakan agar bersedia berobat lagi,” tutur Mas’ud Yunus.
Soal kediaman yang sangat jauh dari kata layak, ujar Mas’ud Yunus, bukan milik pribadi namun menyewa.
“Karena statusnya rumah sewa, kita upayakan mengontrakkan rumah yang lebih layak. Alhamdulillah saat ini sudah terkumpul beberapa juta rupiah hasil partisipasi masyarakat yang digalang komunitas taman baca. Rencananya, uang para donatur yang terkumpul itu sebagian untuk biaya sewa rumah beberapa tahun ke depan,” katanya.
Soal biaya hidup, ujar Mas’ud Yunus, seorang pengusaha yang berada di lingkungan setempat yang selama ini tak henti memberi bantuan akan lebih rutin lagi menyisihkan rejekinya.
“Ada donatur tetap yang akan menyumbang Rp 500 ribu setiap bulannya. Lalu BAZ (Badan Amil Zakat) Kota Mojokerto menyisihkan Rp 200 ribu setiap bulan. Uang ini untuk biaya hidup sehari-hari. Soal jaminan sosial lainnya, tetap menjadi hak keluarga ini, seperti BPJS, raskin, bantuan anak yatim non panti dan lainnya,” ucap Mas’ud Yunus seraya menyematkan bantuan uang tunai kepada Shintia.
Simpati masyarakat memang mengalir melihat kegigihan Shintia menaklukkan waktu demi menjaga sang ibu. Namun, Walikota lebih berharap lagi agar di rumah kontrakkan barunya nanti, Maimunah dan Shintia hidup lebih layak lagi. Kelangsungan pendidikan sekolah pun sebisanya tanpa aral. Setidaknya, sekolah bebas biaya jadi garansinya.
“Kita berharap bu Maimunah segera terbebas dari depresi. Shintia bisa lebih konsen belajar,” tutup Mas’ud Yunus. (one)
Birokrat ulama ini mendatangi Maimunah dan Shintia, penghuni gubuk berdinding anyaman bambu bersulam tikar dan seng bekas yang lapuk termakan waktu itu, Selasa (31/32015), untuk membuktikan cerita lara seorang anak yang menjadi tulang punggung keluarga sekaligus perawat sang ibu yang tengah mengidap depresi berat.
Sesaat usai berucap salam, orang nomor satu di Kota Mojokerto ini pun langsung menanyakan kondisi kesehatan Maimunah.
Mas’ud Yunus yang didampingi Kadis Kesehatan, Christina Indah Wahyu, Kadinsos, Mujiwati serta pejabat kelurahan dan perangkat kampung setempat ini membuka dialog dengan Maimunah.
Namun perempuan berperawakan kecil ini bergeming. Yang ditunjukkan, eskpresi mata yang kosong. Ia hanya sedikit tersipu seraya mendekapkan tangannya ke mulut yang ia tutupi kain katun warna hitam sewarna dengan jilbab yang dikenakannya.
Di tangan kanannya, ia menggenggam erat setumpuk lembaran semacam buku bank. Rupanya janda pegawai sebuah bank swasta ini terobsesi menggenggam angka-angka besar dalam rupiah. Sesekali bergumam dan menyebut nama bank. Namun bergeming tatkala walikota mulai memintanya agar mau berobat. Pun bujuk rayu walikota agar ia bersedia disuntik petugas medis agar bisa lebih tenang, ditolaknya mentah-mentah.
Empati Mas’ud Yunus rupanya dianggap angin lalu. Bisa jadi ia tengah keheranan. Di siang bolong, banyak manusia di sekeliling gubuk tinggalnya. Memang, Mas’ud Yunus sengaja mengajak bawahannya, tetangga dan awak media untuk menengok salah satu warganya yang butuh sentuhan moral dan sosial tersebut.
Sesaat perhatian walikota tertuju pada Shintia. Rona bahagia terpotret dari belia berusia 16 tahun berbadan mungil yang ditinggal mati Bapaknya kala ia berusia dua tahun ini.
Bertutur di hadapan walikota soal rutinitasnya, Shintia menyebut selalu bangun di pagi buta untuk menyiapkan segala kebutuhan sang ibu.
Tatkala matahari mulai terbit, ia beranjak menuju sekolahnya berjarak dua kilometer dengan mengayu sepeda angin pemberian seseorang menuju SMKN 1 di jalan Kedungsari, Kota Mojokerto tempat ia mendulang ilmu di jurusan teknik komputer dan jaringan. Pelajar kelas X ini terbilang pandai. Pretasinya cukup cemerlang. predikat juara kelas pun ia sandang.
Sepulang sekolah, hanya sejenak bersama ibunya. Usai bersantap siang dengan ibunya, ia mulai mendulang rupiah, bekerja di sebuah kedai di kawasan Kelurahan Meri, sekitar tiga kilometer dari kediamannya. Ia baru pulang sekitar pukul sembilan malam. Buku pelajaran baru ia buka tengah malam, seraya terus melayani ibunya.
Upah Rp 500 ribu ia kantongi sebagai imbalan kerja paruh waktu dalam sebulan. Uang hasil kerja itu pula yang ia putar untuk bertahan hidup awal bulan hingga bulan berganti.
Potret kemiskinan keluarga papa yang terbingkai serba ketidakmampuan hampir di segala hal, kecuali semangat Shintia inilah yang mendorong Mas’ud Yunus terus memberi angin sejuk.
Mas’ud Yunus pun mengaku tak merasa ‘kecolongan’ ditengah menggaungkan peningkatan index pembangunan manusia (IPM), pengentasan kemiskinan dan jaminan kesejahteraan sosial.
Ini lantaran dari cerita Shintia anaknya, tetangganya, perangkat kampung dan petugas kesehatan selaras menyebut jika Maimunah sulit diajak berperilaku hidup sehat. Beberapa kali petugas kesehatan membawanya ke RSJ Menur Surabaya, namun sedikit saja merasa sembuh, ia kembali pulang. Tak berapa lama, ia pun kembali menunjukkan gelagat depresi.
“Dari informasi dan data dinas kesehatan, bu Maimunah ini sudah beberapa kali berobat ke RSJ Menur dan nantinya kita tetap upayakan agar bersedia berobat lagi,” tutur Mas’ud Yunus.
Soal kediaman yang sangat jauh dari kata layak, ujar Mas’ud Yunus, bukan milik pribadi namun menyewa.
“Karena statusnya rumah sewa, kita upayakan mengontrakkan rumah yang lebih layak. Alhamdulillah saat ini sudah terkumpul beberapa juta rupiah hasil partisipasi masyarakat yang digalang komunitas taman baca. Rencananya, uang para donatur yang terkumpul itu sebagian untuk biaya sewa rumah beberapa tahun ke depan,” katanya.
Soal biaya hidup, ujar Mas’ud Yunus, seorang pengusaha yang berada di lingkungan setempat yang selama ini tak henti memberi bantuan akan lebih rutin lagi menyisihkan rejekinya.
“Ada donatur tetap yang akan menyumbang Rp 500 ribu setiap bulannya. Lalu BAZ (Badan Amil Zakat) Kota Mojokerto menyisihkan Rp 200 ribu setiap bulan. Uang ini untuk biaya hidup sehari-hari. Soal jaminan sosial lainnya, tetap menjadi hak keluarga ini, seperti BPJS, raskin, bantuan anak yatim non panti dan lainnya,” ucap Mas’ud Yunus seraya menyematkan bantuan uang tunai kepada Shintia.
Simpati masyarakat memang mengalir melihat kegigihan Shintia menaklukkan waktu demi menjaga sang ibu. Namun, Walikota lebih berharap lagi agar di rumah kontrakkan barunya nanti, Maimunah dan Shintia hidup lebih layak lagi. Kelangsungan pendidikan sekolah pun sebisanya tanpa aral. Setidaknya, sekolah bebas biaya jadi garansinya.
“Kita berharap bu Maimunah segera terbebas dari depresi. Shintia bisa lebih konsen belajar,” tutup Mas’ud Yunus. (one)
Social