Mojokerto-(satujurnal.com)
Menteri
Sosial Khofifah Indar Parawansa menekankan agar masyarakat tidak memasung
penyandang psikotik. Karena pemasungan sangat bertentangan dengan pemenuhan
hak-hak dasar manusia.
Khofifah
mengutarakan hal itu saat melakukan kunjungan ke Padepokan Among Budaya Sastro
Loyo, penampungan korban nafza dan penderita psikotik di Desa Sentono Rejo,
Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Minggu (26/2/2016).
“Format
rehabilitas penyandang psikotik yang dilakukan Pak Wulung semuanya tanpa
pasung, tanpa rantai. Format ini perlu ditularkan secara luas,” kata Khofifah.
Menurutnya,
saat ini jumlah penyandang psikotik yang dipasung di seluruh Indonesia sekitar
57 ribu jiwa. Angka ini harus digerus hingga tahun 2017 Indonesia bebas pasung.
“Ada
sekitar 57 ribu warga bangsa ini yang mengalami gangguan spikotik dan
dipasung. Kita dari pemerintah pusat, propinsi dan daerah mencanangkan
Indonesia bebas pasung 2017,” ungkap Khofifah.
Ditekankan,
setelah ada Kartu Indonesia Sehat (KIS), tidak ada alasan bagi pemasungan.
“Keluarga
dan masyarakat agar tidak melakukan pemasungan penyandang psikotik. Sebab,
mereka bisa mendapatkan intervensi KIS, berupa kontinuitas pengobatan yang
mesti dikonsumsi agar bisa kembali sehat,” tandasnya.
Kader
posyandu di daerah, katanya, punya tugas untuk memastikan penyandang psikotik
mendapatkan obat, sebab jika diputus bisa mempengaruhi instabilitasi emosi dan
kembali dipasung.
Ia
pun menyatakan angkat topi dengan upaya mandiri yang dilakukan Sri Wulung untuk
menangani dan menyembuhkan korban nafza dan penyandang psikotik.
“Penanganan
korban nafza dan penyandang psikotik yang dilakukan Pak Wulung sangat
memanusiakan manusia,” katanya.
Sementara
itu, dihadapan Mensos dan Kepala Dinas Sosial Kabupaten Mojokerto, Hariyono,
Sri Wulung yang akrab disapa Pak Jliteng mengatakan, kedatangan Mensos bagi puluhan penderita gangguan jiwa penghuni padepokan bak mendapat
guyuran semangat baru.
Yang masih
menjadi ganjalan, jika ia mendapati korban nafza atau penyandang psikotik yang
meninggal dunia namun tidak memiliki data kependudukan yang jelas.
“Meski
saya hanya seniman ludruk, saya tetap berupaya agar bisa memenuhi kebutuhan
para korban nafza dan penyandang psikotik yang sedang saya tangani. Baik itu
soal makan dan kebutuhan kesehatan. Tapi miris kalau melihat gelandangan,
penyandang psikotik meninggal dunia. Mau dimakamkan dimana juga repot kalau
tidak jelas identitasnya,” ujar terapis sekaligus pemilik padepokan
tersebut.
Ia
pun bertutur soal tingkat kesembuhan penghuni padepokan dengan beragam
latarbelakang dan usia itu tergantung
pada derajat penyakit jiwa masing-masing. "Terapi yang saya berikan
sebenarnya sederhana saja, olahraga, mengurusi kebutuhan pribadi seperti mandi,
cuci pakaian dan sebagainya, serta istirahat cukup," ujarnya.
Namun,
penyadaran bahwa mereka juga bagian dari makhluk sosial yang bermartabat dan
layak sejajar dalam berintertaksi menurut Pak Jliteng, yang sejatinya menjadi
titik awal terapi justru paling banyak memakan waktu. "Prosesnya cukup
panjang dan butuh waktu yang relatif lama." ujarnya.
Tatkala
Mensos datang, mereka tengah duduk-duduk di latar berukuran kecil
berlatarbelakang nama padepokan. Tak sepatahkata pun terucap. Hanya sunggingan
bibir yang tampak kering seolah mensiratkan masih minimnya takaran kepedulian
dan sentuhan sosial.
"Kepedulian seperti yang dilakukan Bu Mensos saat ini
juga menjadi obat bagi kesembuhan mereka," ujar Pak Jliteng yang mengaku
sudah membuka pintu terapi puluhan tahun silam itu. (one)
Social