“Sejahtera
untuk Semua" yang dijadikan slogan Kabupaten Jombang bisa jadi hanya
isapan jempol belaka. Bagaimana tidak, masih banyak warga Kota Santri yang
hidup di bawah garis kemiskinan. Bahkan, ada diantara mereka yang harus mengais
butiran padi sisa panen hanya untuk bertahan hidup.
Seperti
yang dilakoni kakak beradik Mbah Sijah, (70) dan Mbah Wiji (65) asal, Dusun
Karangasem, Desa Karangdagangan, Kecamatan Bandar Kedungmulyo, Kabupaten
Jombang ini.
Di
usia senjanya, Mbah Sijah, nenek renta ini terpaksa membanting tulang demi
bertahan hidup dengan sang adikny, Mbah Wiji penyandang tuna netra.
Seperti
yang dilakukan Mbah Sijah pagi tadi, ia terlihat sibuk di dapur rumah bambu
itu. Badan yang tak tegap lagi itu, menjinjing setali ranting kayu kering dari
samping rumah. Ya, mbah Sijah harus memasak untuk mengganjal perutnya yang
mulai kerocongan.
Secangkir
menir (patahan beras) diambil mbah Sijah dari dalam gentong berbahan tanah liat
itu.
Tangan
keriput itu satu persatu menjumput butiran yang tersisa di dalam gentong.
Baginya, satu butir padi itu sangat berarti untuk membuatnya bertahan hidup.
"Adik
saya buta, tidak bisa apa-apa, jadi mau tidak mau saya yang harus membuat makan
setiap hari," tutur Mbah Sijah.
Ia
berujar, semenjak suaminya meninggal beberapa tahun lalu, Mbah Sijah hanya
hidup berdua dengan Bbah Wiji. Maklum, selama hidup, mbah Wiji tidak pernah
menikah. Sebab, kedua mata Mbah Wiji memang sudah mengalami kebutaan sejak
kecil.
"Saya
punya dua anak sebenarnya, satu laki-laki sekarang di Surabaya, sedangkan yang
perempuan tinggal di Ponorogo. Jarang pulang, kadang lima bulan baru pulang,”
tuturnya.
Selama
ini, Mbah Sijah dan adiknya hanya makan seadanya. Jika beras jatah bantuan yang
diterimanya habis, keduanya terpaksa makan sayur-sayuran rebus yang diambilnya
dari pekarangan rumah. Atau menunggu belas kasih dari tetangga.
"Kalau
musim panen, saya ke sawah. Ngasak (ngais) gabah sisa orang panen itu. Nanti
kalau banyak terus di gilingkan jadi menir seperti ini. Kalau sudah habis, ya
makan seadanya saja, yang penting makan," terangnya.
Sungguh
ironis memang. Kondisi Mbah Sijah dan Mbah Wiji yang hidup dibawah garis
kemiskinan ini minim perhatian dari pemkab Jombang.
Setiap
bulan, keduanya hanya menerima bantuan beras untuk warga miskin (Raskin)
sebanyak 15 kilogram.
Tak
heran jika beberapa waktu lalu banyak netizen yang menggunjing saat istri
bupati dan para pejabat teras plesir ke Jakarta. Parahnya lagi, kegiatan itu
menggunakan dana APBD Jombang. Sementara untuk ratusan ibu-ibu PKK lainnya
menggunakan dana APBDes yang diambilkan dari Dana Desa (DD) yang dikucurkan
Kementrian Desa Transmigrasi dan lDaerah Tertinggal.
"Kalau
kegiatan itu menggunakan uang pribadi ya tidak masalah, tapi kalau itu menggunakan
uang rakyat ya saya sangat keberatan. Lebih baik itu digunakan untuk membantu
warga miskin, seperti Mbah Sijah ini," ungkap Seger, Ketua Rt 01/04 Dusun
Karangasem, Desa Karangdagangan, Kecamatan Bandar Kedungmulyo, Kabupaten
Jombang.
Seger
berharap, ada bantuan rutin yang diberikan pemkab Jombang kepada mbah Sijah dan
mbah Wiji itu. Mengingat kondisi keduanya yang sudah tua renta namun masih
harus banting tulang hanya untuk bertahan hidup.
"Kalau
bisa ada tambahan bantuan untuk kedua warga saya ini. Minimal, untuk kebutuhan
makan setiap harinya. Karena anaknya juga jarang pulang," tandasnya. (rg)
Social