Tak seperti biasanya, pagi itu matahari bersinar redup, semburat cahayanya menerobos awan tipis seiring mata angin yang bergerak pelan dari arah barat daya.
Dedaunan
tipis hijau muda kemerah-merahan yang bersemi disetiap pucuk tangkai tampak saling meliuk oleh sentuhan angin
kering diantara rerimbunan pohon disepanjang jalan area persawahan.
Dipinggir
jalan terdapat sungai kecil, sungai patusan, tempat pembuangan air dari bekas
air yang mengairi sawah, terlihat penuh
seolah tak mengalir.
Pemandangan
rumput - rumput liar tumbuh di tebing jalan
menjulur ke sungai
bersama tumbuhnya tanaman kangkung yang
mengapung sesak diatas air. Juga terlihat tumbuhan kirta dengan
kuncup bunga corong merah kekuningan menyela diatas ilalang.
Sementara
diatas terlihat burung-burung berkicau
berterbangan. Sesekali terbang begitu rendahnya, menyambar diatas kepala
para petani yang sedang sibuk bekerja mencangkul mengolah sawah.
Suasana
terasa begitu alami, melihat burung -
burung terbang beriringan, berputar dan sesaat
hinggap di sebuah
pohon mangga yang sedang berbuah lebat bergelantungan rendah, kemudian terbang
lagi. Begitu seterusnya, hingga menghilang
dan pergi lagi.
Namun
keindahan itu sama sekali tak menyita perhatian mereka, karena sudah terbiasa
menjadi suguhan lumrah dan hampir setiap pagi terjadi menghiasi suasana diatas
hamparan sawah, kala musim tanam padi telah tiba.
Mereka sudah sangat akrab dengan suasana itu, hingga
mereka acuh dan tak peduli. Mereka asik bekerja, terus mengayunkan cangkul
dalam genggaman erat tangannya, sambil sesekali meneguk air putih dalam ceret
sekedar melepas dahaga.
Kala matahari berada diatas
sepenggalah, pemilik sawah datang membawa makanan, nasi jagung dengan lauk ikan
asin dan klothok goreng ditabur tepung, sayur lodeh rebung dalam rantang
aluminium serta minuman kopi dalam botol. Sajian itu menjadi
suguhan rutin sehari - hari ditengah sawah ladang saat mereka bekerja.
Sejenak
mereka beristirahat, duduk berjejer diatas galengan sawah yang melintang
ditengah ladang, dengan suasana suka cita penuh keakraban, mereka menikmati
makanan dengan lahapnya.
Terasa
begitu nikmat. Mereka cukup menikmatinya dengan jemari tangan
yang telah dibasuh dengan air yang mengaliri sawah.
Usai menikmati
makanan khas ala sawah, dan sudah menjadi
kebiasaan, sesaat mereka menyempatkan minum kopi yang sudah mulai dingin. Sebatang rokok kretek cap jambu klampok kuning mereka bakar. Biasanya pula, mereka menghisap rokok tak habis sebatang. Setelah beberapa kepulan, gulungan tembakau itu mereka matikan
untuk disulut lagi saat senggang.
Nampak
wajah-wajah segar dan ceria kembali melekati dirinya. Mereka
kembali meraih cangkul dan menggerakkannya dengan penuh tenaga, hingga tak
terasa matahari telah jauh bergerak hampir berada pada posisi lurus diatas
garis vertical. Terik
sinarnya mulai terasa memancar bebas tak terhalang, bersama hilangnya awan yang
terus berjalan kearah timur laut.
Kulihat
bayang-bayang tubuhku dari cahaya sinar matahari, nampak bayangan di tanah
yang mulai memendek, hampir sama dengan tinggi badanku. Aku agak sedikit lega,
itu pertanda waktu pulang akan tiba.
Hampir setiap hari Minggu
saat libur sekolah, aku ikut ayah ke sawah. Seperti juga sebelumnya, setiap
membantu ayah disawah, aku berpamitan meninggalkan ladang lebih dahulu. Menunggu ayah
ditempat yang teduh, dibawah pohon yang tumbuh rimbun dipinggir jalan, agak
jauh disisi timur dari lokasi sawah milik ayah.
Kutunggu
ayah disana, duduk di samping sepeda onthel
yang disandarkan di pohon
itu sejak pagi tadi.
Disitulah
tempat yang menjadi langganan parkir sepeda ayah setiap pergi ke sawah dan
disitu pula tempat aku menunggu.
Di
kejauhan terlihat ayah mulai beranjak berjalan ke arahku sambil memanggul
cangkul dibahu kanannya, sementara
tangan kirinya menenteng rantang aluminium tempat nasi dan sayur serta
botol kopi yang sudah kosong.
Ayah
berjalan menapaki jejak - jejak kaki diatas galengan yang belebat lumpur.
" Sudah capek? ", tanyanya singkat ketika sampai didekatku, tak lepas
dengan senyumnya yang merekah menghiburku.
Hanya
dengan isarat "menganggukkan
kepala" aku mengiyakannya. Jawaban manja
seorang anak desa yang sedang menunggu ayahnya disawah. Jawaban
yang mestinya tak kan terjadi andaikata kala itu aku sudah dewasa. Ayah,
maafkan aku
Begitupun
petani lainnya nampak kompak mengakhiri rutinitasnya. Mereka
beranjak bersama, meninggalkan ladang
beriringan mengayuh sepeda menuju rumah
masing - masing.
Ayah
memboncengku diiringan paling belakang menempuh jarak dua setengah kilometer dari lokasi sawah di dusun Candisari
untuk sampai di rumahku di ujung timur dusun Jombatan. Jarak tempuh yang terasa jauh
kala itu, karena kondisi jalan tanah
yang kering rengkah dan berlekuk.
Kini
bayangan itu masih melekat dibenakku seolah kejadian 38 tahun silam saat aku masih duduk di bangku SMP itu baru saja terjadi
kemarin. *)
A y a h
Disudut desa itu
Ada sebuah kenangan
yang tak lekang oleh waktu
Ketika aku mencabut rumput
diatas sawah ladangmu
Bila musim padi tiba
disana kau mengolah sawah
tekun, sabar dan qona'ah
Kau kucurkan keringat
demi keluarga
Tak pernah putus asa
Sawah menjadi ladangmu bekerja
Aku melihat berapa kali kau
ayunkan cangkul pada hari itu
Tapi aku tak menghitungnya
Aku mendengar berapa kali
kau sebut lirih Asma-Nya bersama ayunan itu
Tapi aku juga tak menghitungnya
Kau tak pernah cerita tapi aku mendengarnya
Mungkin, disawah ladang
itu
sengaja kau ajari aku mengenal-Nya
Tapi kau diam
aku tak bertanya
Kau tak memberi tahu
Aku tak perlu tahu
Siapapun tak perlu diberitahu
Biar menjadi rahasia
antara kau dan Dia
Yang kan menjadi saksi
bersama burung - burung
yang terbang menyambar diatas kepala
Turut mengantarmu
tersenyum dialam sana.
Aamiin.
*)
Penulis adalah Kabag Humas dan Protokol Sekretariat Daerah Kota Mojokerto.
Social