Fee dan Jatah Dewan Disebut untuk Harmonisasi - SatuJurnal.com | Portal Berita Mojokerto, Jombang, Surabaya, Jawa Timur dan Nasional

Fee dan Jatah Dewan Disebut untuk Harmonisasi

Surabaya-(satujurnal.com)
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan delapan orang saksi dalam persidangan Pengadilan Tipikor Surabaya dengan terdakwa Wiwiet Febriyanto, mantan Kadis PUPR Kota Mojokerto, Selasa (10/10/2017).

Dari delapan orang saksi, tujuh diantaranya merupakan anggota DPRD Kota Mojokerto, yakni Yunus Suprayitno Hardiyah Santi, Riha Mustofa, Cholid Virdaus, Odiek Prayitno, Deny Novianto dan Uji Pramono. Sedang satu saksi dari eksekutif, yakni Novi Raharjo, Kadis Pendidikan Kota Mojokerto.

Satu persatu saksi dari kalangan Dewan tersebut dicecar pertanyaan oleh JPU KPK soal uang tambahan berupa komitmen fee dan jatah triwulan.

Cholid Virdaus yang ditanya JPU KPK soal komitmen fee maupun jatah triwulan, meyakini jika semua anggota Dewan mengetahui dua hal itu. “Semua anggota Dewan tahu,” katanya.

Politisi PKS itu juga diminta membeber tiga kali percakapan via telpon antara dirinya dengan Wiwiet Febriyanto yang diperdengarkan JPU KPK.

Dalam percakapan itu, Wiwiet Febriyanto membocorkan angka komitmen fee Rp 150 juta yang sudah diberikan ke pimpinan Dewan dan rencana pemberian berikutnya Rp 500 juta.

Angka Rp 150 juta itu yang kemudian mengalir ke seluruh awak Dewan. Ketua Dewan mendapat Rp 15 juta, dua wakil ketua Dewan, masing-masing Rp 12,5 juta dan 22 anggota Dewan masing-masing dijatah Rp 5 juta.

Riha Mustofa, mengungkap,uang tambahan diluar penghasilan resmi sebagai anggota Dewan yang akan disodorkan ke eksekutif muncul ditengah rencana pembahasan APBD 2017 di Hotel Santika, Jakarta, Oktober 2016 silam.

“Di pertemuan itu muncul usulan agar ada uang tambahan dari tim anggaran. Sebelumnya pimpinan (Dewan) menyebutkan nominal Rp 65 juta per anggota Dewan. Angka itu untuk tujuh kali pembahasan, antara lain untuk pembahasan KUA, PPA, APBD dan lain-lain, yang diistilahkan Pak Fanani ‘Tujuh Sumur’,” beber Riha Mustofa.

Anggota Dewan tiga periode tersebut juga menyebut jika uang tambahan itu untuk harmonisasi antara eksekutif dan legislatif.

“Apakah selama ini tidak harmonis kalau tidak ada uang tambahan,?” tanya JPU KPK Subari Kurniawan.

Harmonisasi itu dilakukan eksekutif lantaran hal ini terjadi tak sekali ini saja. tahun 2016 lalu, kalangan dewan juga menerimanya. ’’Sama. Rp 5 juta,’’ beber Riha.
Pengakuan ini juga dilontarkan politisi PKS Cholid Virdaus. Ia juga mengakui telah menerima success fee di tahun 2016 dan 2017. Besarannya sama yakni Rp 5 juta.

Namun, kelima anggota Dewan lainnya mengaku tidak pernah kecipratan uang Rp 5 juta ditahun 2016 itu. Mereka kompak mengaku tak mengetahui fee jasmas yang diinisiasi pimpinan dewan dan dikucurkan rutin tiap tahun tersebut.

Usai sidang, JPU KPK Subari Kurniawan mengatakan, saksi yang dipanggil hari ini merupakan saksi-saksi yang paling akhir. Persidangan berikutnya, yakni pemeriksaan terdakwa Wiwiet Febrianto.

Wakil Walikota Mojokerto, Suyitno yang juga diperiksa sebagai saksi bulan Juni 2017 lalu tidak dibutuhkan kesaksiannya di persidangan tersebut. “Karena tidak ada peran yang terkait langsung dengan perkara ini,” ujar Subari Kurniawan.

Seperti diketahui, Wiwiet Febriyanto, Kepala Dinas PUPR dan ketua dan dua wakil ketua DPRD Kota Mojokerto, Purnomo, Umar Faruq dan Abdullah Fanani terjerat operasi tangkap tangan (OTT) KPK, 17 Juni 2017 lalu.

KPK mengamankan uang tunai Rp 450 juta dari tangan Wiwiet Febriyanto dan tiga pimpinan Dewan. Keempatnya ditetapkan sebagai tersangka dan menjadi tahanan KPK. Wiwiet Febriyanto menjadi tersangka pertama yang menjalani sidang di Pengadilan Tipikor Surabaya. Uang yang diamankan diduga berasal dari Ipang dan Dody Setiawan.

Atas perbuatan terdakwa, ucap JPU KPK dalam surat dakwaannya, merupakan tindak pidana korupsi, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 13 jo pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi juncto pasal 65 ayat (1) KUHAP. (one)

Artikel terkait lainnya

Baca juga artikel ini

Copyright © SatuJurnal.com | Portal Berita Mojokerto, Jombang, Surabaya, Jawa Timur dan Nasional