Surabaya-(satujurnal.com)
Wiwiet Febriyanto, mantan Kadis PUPR Kota Mojokerto mulai menjalani pemeriksaan perdana
sebagai terdakwa dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi di persidangan
Pengadilan Tipikor, Surabaya, Jum’at (13/10/2017).
Jaksa Penuntut Umum
(JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengajukan sejumlah pertanyaan tekait
pemberian uang ratusan juta rupiah untuk komitmen fee proyek jasmas jatah Dewan
yang berujung operasi tangkap tangan (OTT) lembaga antirasuah tersebut.
“Tanggal 5 Juni
2017 tiga pimpinan Dewan menemui Walikota Mas’ud Yunus di ruang kerjanya. Tak
berselang lama, saya diminta Walikota menghadap. Dikatakan Walikota kalau tiga
pimpinan Dewan meminta Walikota agar memberikan jatah fee dari proyek jasmas
dan jatah triwulan. Walikota menyatakan tidak bisa memenuhi permintaan Dewan.
Saya hanya diperintah untuk segera menemui pimpinan Dewan membicarakan teknis
proyek jasmas. Kalau kemudian saya memberikan sejumlah uang kepada Dewan, itu
karena saya terjemahkan sendiri perintah Walikota,” kata Wiwiet.
Semua pembicaraan
dengan Walikota direkam oleh Wiwiet dengan perangkat telepon genggam yang
kemudian disita penyidik KPK.
“Saya merekam
tidak ada maksud jahat. Rekaman itu sebagai pembukti untuk pinjam uang ke kontraktor.
Nantinya uang itu akan saya setorkan ke Dewan untuk fee jasmas,” aku Wiwiet.
Wiwiet juga
diminta menjelaskan rekaman pembicaraan dirinya dengan Cholid Virdaus, Wakil
Komisi III DPRD Kota Mojokerto, 11 Juni 2017, berdurai 7 menit 37 detik, menyangkut
pengalihan anggaran proyek PENS sekitar Rp 13 miliar ke proyek penataan
lingkungan. Diantara percakapan, Wiwiet meminta agar Cholid ‘berjuang’ hingga
dana PENS dibatalkan dan bisa dialihkan.
Wiwiet juga
membocorkan ke Cholid Virdaus soal penyerahan uang Rp 150 juta kepada Purnomo
(saat itu menjabat Ketua Dewan) dan rencana pemberian tahap dua Rp 500 juta.
“Apakah pemberian
uang ke pimpinan Dewan itu terdakwa laporkan ke Walikota?,” tanya JPU KPK,
Iskandar.
Secara tandas
Wiwiet menyatakan tidak pernah memberitahukan ke Walikota.
“Terdakwa tahu
atau tidak kalau perbuatan itu (suap) memiliki resiko besar,” kata JPU KPK,
Arin K.
Merespon
pertanyaan itu, Wiwiet yang mengenakan kemeja batik lengan pendek warna biru
hanya menunduk.
Majelis Hakim
yang diketuai HR Unggu Warso Mukti mencecar Wiwiet soal uang ratusan juta yang
dipinjam dari dua kontraktor yang kemudian sebagian diberikan ke pimpinan Dewan
dan sumber pengembalian uang pinjaman.
“Terdakwa mengaku
meminjam uang ratusan juta rupiah untuk disetor ke Dewan sebagai komitmen fee
jasmas. Lalu cara pengembaliannya bagaimana,” tanya salah satu hakim.
Wiwiet tak
menjawab gamblang skema pengembalian pinjaman.
“Pengembaliannya,
ya dari hasil proyek jasmas yang akan dikerjakan banyak kontraktor,” kata
Wiwiet.
Jawaban Wiwiet
yang seolah sekenanya itu ditanggapi sinis oleh majelis hakim. “Tidak nalar,”
sindir salah satu hakim.
Usai memeriksa
Wiwiet, di sesi berikutnya JPU KPK menghadirkan tiga orang mantan pimpinan
Dewan yang sudah ditetapkan sebagai tersangka, yakni Purnomo, Umar Faruq dan
Abdullah Fanani.
Meski dakwaan
ketiganya dipisah, namun dalam agenda pemeriksaan empat saksi dari eksekutif
dengan majelis hakim yang sama, ketiga terdakwa tersebut dihadirkan bersamaan.
Sedangkan saksi
yang dihadirkan yakni Novi Raharjo, Kadis Pendidikan, Yustian, PPK Proyek
Jasmas, Ferry, PPK Proyek PENS dan Subhekti, kabid anggaran BPPKA Kota
Mojokerto.
Seperti
diketahui, Wiwiet Febriyanto, Kepala Dinas PUPR, ketua dan dua wakil ketua DPRD
Kota Mojokerto, Purnomo, Umar Faruq dan Abdullah Fanani terjerat operasi
tangkap tangan (OTT) KPK, 16 Juni 2017 lalu.
KPK mengamankan
uang tunai Rp 450 juta dari tangan Wiwiet Febriyanto dan tiga pimpinan Dewan.
Keempatnya ditetapkan sebagai tersangka dan menjadi tahanan KPK. Wiwiet
Febriyanto menjadi tersangka pertama yang menjalani sidang di Pengadilan
Tipikor Surabaya, 29 Agustus 2017 lalu. Uang yang diamankan diduga berasal dari
dua kontraktor Ipang dan Dody Setiawan.
KPK menjerat
pasal penyuapan terhadap Wiwiet Febriyanto dan dijerat pasal 5 ayat (1) huruf a
atau pasal 5 ayat (1) huruf b atau pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana.
Sedangkan,
Purnomo, Abdullah Fanani dan Umar Faruq oleh JPU KPK dijerat pasal 11 dan 12a
jo pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 jo. pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana.
Dalam surat
dakwaan dengan materi yang hampir sama, ketiga mantan pimpinan Dewan tersebut
duduk di kursi terdakwa lantaran terjaring operasi tangkap tangan (OTT),
bersama Wiwiet Febrianto, mantan Kadis PUPR Kota Mojokerto, pada Jum’at
(16/6/2017 hingga Sabtu (17/6/2017) dini hari. Sekitar pukul 23.30 KPK
mengamankan Purnomo, Umar Faruq dan Hanif di kantor DPD PAN Kota Mojokerto.
Dari dalam mobil milik Hanif, tim menemukan uang Rp 300 juta. Pada saat yang
bersamaan, tim juga mengamankan Wiwiet Febrianto di sebuah jalan di Mojokerto
dan mengamankan uang Rp 140 juta. Kemudian Tim KPK berturut-turut mengamankan
Abdullah Fanani dan Taufik di kediaman masing-masing. Dari tangan Taufik, tim
mengamankan Rp 30 juta. Setelah menjalani pemeriksaan awal di Markas Kepolisian
Daerah Jawa Timur, keenamnya diterbangkan ke Jakarta pada Sabtu (17/6/2017)
untuk menjalani pemeriksaan lanjutan di Gedung KPK. Hanif dan Taufik, pihak
swasta berstatus sebagai saksi. (one)
Social