Oleh : Choirul Anwar
Kristal beku telah
menggantung rendah diatas perahu layar yang kutumpangi. Titik - titiknya
menyerap pancaran cahaya hingga menggeser warna awan menjadi kelam gelap. Ia
terus menyelimuti lautan yang membentang disekitar perahu. Mengepung perjalanan sebelum berlabuh ditempat
peristirahatan.
Sementara
perjalanan menuju
ke pulau Damai
nun jauh disana masih membutuhkan waktu semusim
lagi. Sebuah tempat yang menjadi impian bagi nahkoda agar para penumpangnya
dapat hidup lebih baik daripada tempat huni sebelumnya.
Cita
- cita ini mendorong sang nakhoda untuk terus melaju menggerakkan perahunya
dengan penuh hati-hati. Ia mengendalikannya sesuai dengan sistem operasi baku.
Nahkoda sangat disiplin menjaga ketertiban berlalulintas dalam menyusuri lautan
menuju pulau itu.
Harapannya,
perahu ini dapat berjalan lancar tanpa suatu halangan apapun hingga dapat
berlabuh dengan selamat sampai tujuan. Para penumpang dapat hidup aman,
tenteram dan damai. Segala fasilitas pelayanan yang dibutuhkan dapat terpenuhi.
Baldatun, toyyibatun, wa robbun ghofur.
Hampir
semusim sudah kususuri perjalanan ini. Mengarungi lautan yang membentang luas
dalam suasana suka dan duka.
Kadangkala
kita menikmati panorama indah alam semesta. Bila malam tiba terlihat bulan
purnama dikelilingi bintang bintang yang bertebaran menghiasi angkasa. Tak
kalah, tatkala fajar tiba bintang kejora juga tampak menyingsing seperti
untaian anggur putih yang sedang berbunga. Pun disiang hari terlihat jelas air
laut menderukan gemuruhnya mengombak
menggelombang ke arah tepian pantai. Oh begitu indahnya.
Tetapi
disaat yang lain berbagai badai rintangan juga menghadang ditengah perjalanan.
Tak sedikit karang-karang terjal yang harus dihindari. Tak jarang harus
menerobos angin kencang diantara juluran ombak besar yang mengibaskan
selendangnya.
Hawa
panas dan dinginnya malampun tak luput mendera
perjalanan dan kadangkala harus karam menyibakkan buih-buih
lautan yang memapas pelayaran ini.
Sungguh
tak kusangka jika perahu akan kandas di tepian karang
yang melintang diambang batas akhir pelayaran pada awal musim ini. Ketika sang
Nahkoda terpeleset dan disambut badai ombak besar yang menepiskan pusaran
kearah dirinya.
Entah
mengapa, salah seorang anak buah perahu bertindak ceroboh dengan melepaskan
dayungnya, hingga ia tercebur dan berujung membawa petaka bagi sang nakhoda.
Akhirnya sang Nahkodapun jatuh terpelanting
tergulung arus ombak besar yang
bersabung menjulurkan selendangnya.
Melihat
kejadian ini, anak buah perahu lainnya menjadi panik. Mereka ada yang berusaha memutar layar
perahu, dan sebagian lainnya berlari dari anjungan menggayuh dan melemparkan
busa stereofoam baju pelampung untuk menyelamatkan sang nahkoda.
Namun
upaya ini sepertinya sia sia. Bila ternyata
dibawah permukaan air laut telah terpasang ranjau-ranjau yang siap membelenggu
sang nahkoda. Didalamnya terdapat beberapa anak buah perahu yang sudah
tenggelam. Mereka berusaha meraih kaki nahkoda demi menyelamatkan dirinya.
Tak
ada pilihan lain kecuali sang nahkoda harus bersabar dan tawakkal menerima
kenyataan getir yang menimpa dirinnya. Ia terseret karam bersama mereka.
Terjebak oleh pusaran ombak meski tak
salah arah.
Selama
mengendalikan perjalanan, sang nahkoda tak pernah ceroboh bahkan sangat berhati-hati
dalam mengarahkan perahunya. Ia berjalan
tak lepas dari kompas penunjuk arah.
Tak
hanya itu, untuk menjaga keamanan dan kenyamanan para penumpang, ia selalu memberikan
pelayanan terbaiknya, semua fasilitas yang dibutuhkan dipersiapkannya dengan
penuh ketulusan dan kearifan.
Tak
ayal jika musibah yang dialami nahkoda ini menyisakan iba yang mendalam dihati
mereka. Isak tangispun menjadi pemandangan diatas perahu yang mengapung tak
terarah. Tapi mereka tak kuasa, tak bisa berbuat apa apa. Kecuali hanya bisa menundukkan kepala
menengadahkan tangan kehadirat-Nya dan memandang nakhoda dengan mengusap air
mata.
Suasana
haru kini menyelimuti para penumpang. Namun sang nahkoda tetap tak mau lepas
dari senyumnya walau dalam duka. Bahkan ia tak berhenti mewasiatkan kalam -
kalam bijak diatas gulungan ombak yang sedang menimpa dirinya.
Dengan
tegar ia katakan, bahwa dirinya terpeleset hanyalah lantaran semata. Ia jatuh
bukan karena selendang ombak yang menyeretnya dan bukan pula karena badai angin
kabut gelap yang menyambar kepala.
Tapi,
"ini adalah takdir Alloh, yang harus diterima dengan sabar, tanpa harus
berprasangka siapa yang bersalah," begitu ia sampaikan dengan senyum
khasnya yang nampak tenang bersahaja.
Perahu
terus tergerak kearah samping dan berputar,
terayun oleh dahsyatnya jebakan badai ombak yang sedang menggulung. Sementara
diatas kepala, prahara menghempaskan kabut kelamnya kearah perahu yang sedang
menyisir mendekati sang nahkoda.
Panik,
pilu dan pedih larut bersama badai angin dan petir yang menyambarkan apinya.
Hentakan suaranya terus mengiringi kilatan, merambat dalam pantulan medium
udara pekat, hingga memekakkan telinga.
Dalam
kondisi seperti ini, ternyata tak semuanya sepakat berusaha menolongnya. Masih
tersisa diantara mereka yang bersorak diatas duka, meski hanya segelintir
orang. Ada yang menampakkan kebenciannya. Ada pula yang bersandiwara.
Tetapi
hal ini sangat dimaklumi oleh sang nahkoda. Sudah menjadi suratan dari-Nya,
bahwa ada siang ada malam, ada senang ada sedih, ada cinta ada benci. Semua
direngkuhnya dengan penuh kasih sayang tanpa perbedaan.
"Si
Anu lah yang menjadi biang keladi hingga menyebabkanmu terpeleset dalam pusaran
ombak," celetuk salah seorang penumpang kepada sang nahkoda dengan tiba
tiba.
Rupanya
Ia tetap tak bisa menerima kenyataan pahit ini. Ia merasakan betapa
pedihnya yang sedang dirasakan oleh sang
nahkoda. Harus menerima nasib buruk justru disebabkan ketulusannya. "Ah
dunia sudah terbalik," gumamnya dalam hati, seperti meronta tak punya
daya.
Namun
sang nahkoda malah menepis. "Jangan
berprasangka buruk pada siapapun, jangan sampai terjadi sudah jatuh tertimpa
tangga. Tidak mendapatkan dunia,
akhiratnyapun lepas, kita akan
menjadi orang yang merugi," tuturnya lagi.
"Biarlah, saya akan berusaha sebisa yang saya lakukan.
Apa yang akan terjadi, baik dan buruknya adalah datang dari Alloh SWT,"
lanjut sang nahkoda.
Subhanalloh. Begitu tabah kau menghadapi musibah ini.
Ayunan
badai ombak agak mulai sedikit reda. Perahu
tergerak pelan mengikuti alur gelombang yang semakin tenang. Gelegar
suara gunturpun seperti teredam oleh arus angin yang semakin meninggi.
Dengan
pelan sang nakhoda masih bisa bertahan. Ia lolos dari
jebakan ranjau yang terpasang. Pelepah pinang yang mengambang didekatnya adalah
keajaiban yang tak disangka, datang mambawanya kembali ke perahu bersama arus
gelombang yang berjalan tenang. Entah sampai kapan.
Kebanyakan dari mereka
berharap agar sang nakhoda tetap melanjutkan perjalanan membawa semua
penumpangnya berlabuh dengan selamat. Paling tidak sampai akhir musim ini,
sebelum pergantian nahkoda pada perjalanan musim berikutnya yang dikhawatirkan
akan cenderung berbalik arah menuju ke pulau Seram. (*)
*) Penulis adalah Kabag Humas
dan Protokol Pemerintah Kota Mojokerto
Social