Surabaya-(satujurnal.com)
Jaksa
Penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan delapan orang saksi anggota DPRD Kota Mojokerto dalam sidang kasus dugaan
tindak pidana korupsi dengan terdakwa Walikota Mojokerto nonaktif Mas’ud Yunus
di Pengadilan Tipikor Surabaya, Selasa (21/08/2018).
Kedelapan
orang saksi, yakni dari Fraksi PDI Perjuangan, Febriana Meldyawati, Suliyat,
Darwanto, Gusti Padmawati dan Yunus Suprayitno serta dari Fraksi Partai
Gerindra, Dwi Edwin Endarpraja, Muhammad Harun dan Ita Primaria Lestari.
Selain
pengakuan kedelapan saksi terkait diterimanya uang tambahan penghasilan dan fee
jasmas di tahun 2016, masing-masing sekitar Rp 60 juta, mengemuka dalam sidang
yang dipimpin ketua majelis hakim, Dede Suryaman tersebut, soal peran Mas’ud Yunus
terkait kesepakatan pemberian ‘tambahan penghasilan’ untuk memuluskan
pembahasan RAPBD 2017 yang digelar di sebuah hotel di Trawas, Mojokerto.
Dwi
Edwin Endarpraja, Ketua Fraksi Gerindra yang dicecar pertanyaan Arin Karniasari,
JPU KPK, ikhwal pertemuan antara Wakil Walikota Mojokerto, Suyitno dengan
pimpinan dan anggota Dewan menyebut jika dirinya mendengar percakapan Suyitno
dengan Mas’ud Yunus terkait pemberiaan tambahan penghasilan.
“Saat
(Suyitno) menelpon walikota, saya ada di sebelahnya,” kata Dwi Edwin.
Menurutnya,
Suyitno menelpon walikota lantaran tidak ada titik temu soal permintaan
‘tambahan penghasilan’ yang disodorkan Dewan ke Sekdakot Mas Agoes Nirbito. Tidak
adanya kata sepakat berujung protes dari Wakil Ketua Dewan, Abdullah Fanani,
jika tidak ada kejelasan tambahan penghasilan lebih baik pembahasan RAPBD tidak
dilanjutkan.
Keterangan
Dwi Edwin dibantah tegas oleh Mas’ud Yunus. Ia mengaku sama sekali tidak
dihubungi Suyitno.
Mahfud,
penasehat hukum Mas’ud Yunus mengatakan, keterangan Dwi Edwin tidak bersesuaian
dengan BAP Sekdakot Mas Agoes Nirbito yang menyatakan tidak ada peran Mas’ud
Yunus terkait permintaan tambahan penghasilan yang disebut Abdullah Fanani
sebagai uang ‘tujuh sumur’ itu.
Dipertanyakan
Mahfud, percakapan yang disebut antara Suyitno dan Mas’ud Yunus apakah
diperdengarkan melalui loudspeaker HP, Dwi Edwin mengaku tidak. Namun, ia
meyakini jika Suyitno tengah menelpon Mas’ud Yunus.
Dikonfirmasi
usai sidang, JPU KPK, Tri Anggoro mengatakan, kesaksian Dwi Edwin menunjukkan
peran walikota Mas’ud Yunus sebagai pemberi pada pimpinan dan anggota Dewan.
“Dwi
Edwin tadi mengatakan menyaksikan wakil walikota telpon walikota. Dia juga
mengaku pernah menemui walikota di rumah dinasnya menagih penghasilan tambahan
dan mendapat jawaban dari walikota agar ‘tiarap’ dulu,” kata Tri Anggoro.
Tri
Anggoro menyatakan, masih banyak saksi-saksi yang akan dimintai keterangan
dalam persidangan mendatang.
“Kita
lihat saja dipersidangan berikutnya terkait peran terdakwa,” tukas dia.
Menanggapi
ini, Mahfud mengatakan, kliennya meyakini tidak pernah menerima telpon dari
Suyitno seperti disebut Dwi Edwin.
“Walikota
tidak mengakui (dalam persidangan), karena saat itu tidak ada hubungan telpon
(dengan Suyitno). Kita tanya apakah percakapan itu di load speaker, dijawab
tidak. Itu artinya saksi menyimpulkan sendiri. Seharusnya, saksi menerangkan
apa yang ia lihat, dengar dan alami saja. Tidak boleh menyimpulkan,” ujar
Mahfud.
Dikatakan
Mahfud, munculnya Suyitno dalam pertemuan di Trawas itu atas permintaan Sonny
Basuki Raharjo, anggota Fraksi Partai Golkar yang notabene besan Suyitno.
Jika
pun disebut Mas’ud Yunus dilibatkan dalam pembahasan ‘tambahan penghasilan’,
ucap Mahfud lebih lanjut, seharusnya yang dihubungi walikota.
“Kenapa
bukan walikota yang dihubungi. Saat itu walikota tidak berhalangan. Tapi yang
dihubungi Sony adalah Suyitno, ya karena perbesanan,” tukas Mahfud.
Seperti
diketahui, Mas'ud Yunus menjadi tersangka baru pasca pengembangan kasus OTT KPK
yang menjerat dan mempidanakan mantan Kadis PUPR Kota Mojokerto Wiwiet
Febriyanto dan tiga pimpinan DPRD Kota Mojokerto, Purnomo, Abdullah Fanani dan
Umar Faruq. (one)
Social