Surabaya-
(satujurnal.com)
Tiga mantan pimpinan DPRD Kota
Mojokerto, Purnomo, Abdullah Fanani dan Umar Faruq dihadirkan sebagai saksi
dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Surabaya dengan terdakwa Mas’ud Yunus,
Walikota Mojokerto nonaktif, Kamis (30/8/2018).
Selain soal macetnya setoran triwulan
dan fee jasmas yang disorong pimpinan dan anggota DPRD Kota Mojokerto ke
eksekutif untuk tahun anggaran 2017, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) menggali keterangan ketiga mantan petinggi Dewan yang kini
berstatus terpidana kasus korupsi tersebut, siapa inisiator pemberian ‘tambahan penghasilan’
dalam pertemuan di hotel Royal, Trawas, Nopember 2015.
Purnomo mengutarakan, pertemuan yang terjadi
saat rehat makan siang di hari kedua pembahasan RAPBD 2016 tersebut terjadi
antara pimpinan Dewan plus ketua fraksi Partai Gerindra, Dwi Edwin
Endarparja dengan Wakil Walikota Mojokerto, Suyitno dan Sekdakot Mojokerto Mas
Agoes Nirbito.
Pertemuan sembari minum kopi itu, kata
Purnomo, cukup mencair. Bak berseloroh, ujar Purnomo, Suyitno menawarkan awak
Dewan agar meminta ‘tambahan penghasilan’
ke Walikota Mas’ud Yunus.
“Idenya (uang tambahan penghasilan) dari
Wawalikota Suyitno. Soal itu katanya akan disampaikan ke Walikota Mas’ud Yunus,” ujar
Purnomo menjawab pertanyaan penuntut umum.
Purnomo yang mengaku saat itu baru dua
bulan menjabat sebagai ketua Dewan ditanya Suyitno besaran angka dalam jutaan
rupiah yang diminta.
“Jaluk piro (minta berapa), 40, 45,
100 (Rp 40 juta, Rp 45 juta, Rp 100 juta),” kata Purnomo menirukan ucapan
Suyitno.
Penuntut umum kembali mempertegas
pernyataan Purnomo. “Jadi uang tambahan penghasilan itu dianjurkan Suyitno untuk dimintakan ke Walikota?” tanya penuntut umum diamini Purnomo.
Tambahan penghasilan itu, kata
Purnomo, yang kemudian disebut sebagai setoran triwulan.
Purnomo pun membeber beberapa
penerimaan 'tambahan penghasilan' di bulan Nopember 2015, Maret 2016, Nopember 2016 dan
Desember 2016.
Pernyataan Purnomo itu senada dengan
yang dinyatakan Abdullah Fanani dan Umar Faruq dalam sidang yang dengan majelis
hakim yang dipimpin Dede Suryaman tersebut.
Namun pernyataan ketiga pimpinan Dewan itu
bertolakbelakang dengan pernyataan Suyitno dalam persidangan Selasa
(28/8/2018).
Meski mengakui pertemuan dengan pimpinan
Dewan itu, namun dihadapan penuntut umum dan majelis hakim, orang nomor dua di lingkup Pemkot Mojokerto tersebut menyangkal mengetahui soal 'tambahan penghasilan' dan komitmen fee yang diterima pimpinan dan anggota DPRD Kota Mojokerto. Ia hanya mengakui jika
Umar Faruq meminta uang gedok yang kemudian permintaan itu disampaikan ke
Walikota Mas’ud Yunus.
"Selama dua tahun terakhir saya
sama sekali tidak diajak ngomong oleh Walikota. Saya hanya wakil (wakil
walikota), mungkin tidak ada gunanya. Jangankan soal proyek, uang tambahan
penghasilan atau fee jasmas saya tidak tahu dan tidak dengar. Urusan baperjakat
saya juga tidak dilibatkan," lontar Suyitno.
Ia mengaku justru mengetahui adanya
fee jasmas pasca OTT. “Fee jasmas tidak tahu, hanya dengar saja. Tahu saya
setelah OTT,” kilahnya.
Diketahui, dalam dakwaannya, penuntut
umum menyebut Mas’ud Yunus menyepakati adanya ‘tambahan penghasilan’ untuk
memuluskan APBD 2016 yang diterima pimpinan dan anggota DPRD Kota Mojokerto, Nopember 2015,
Maret 2016, Nopember 2016 dan Desember 2016 hingga mencapai Rp 1,465 miliar. Selain
disebut merealisasikan tambahan penghasilan, oleh penuntut umum Mas’ud Yunus
juga didakwa mengetahui pemberian fee jasmas APBD 2016 yang diberikan Wiwiet
Febriyanto kepada seluruh anggota Dewan yang terakumulasi sebesar Rp 573 juta.
Sementara itu, selain tiga mantan
pimpinan Dewan, dalam sidang hari ini, penuntut umum juga menghadirkan lima
orang saksi dari unsur eksekutif, yakni Mokhamad Effendy, Subambihanto, Subektiarso,
Helmi dan Puguh Susanto.
Seperti diketahui, Mas'ud Yunus
menjadi tersangka baru pasca pengembangan kasus OTT KPK yang menjerat dan
mempidanakan mantan Kadis PUPR Kota Mojokerto Wiwiet Febriyanto dan tiga
pimpinan DPRD Kota Mojokerto, Purnomo, Abdullah Fanani dan Umar Faruq. (one)
Social