Judi,
laki-laki paruh baya ini tampak tekun merampungkan kerajinan topeng berbahan daur ulang karton bekas
kemasan air mineral. Topeng yang didominasi warna putih dibingkai dengan
pigura, juga berbahan kertas berukuran 50 centimeter persegi, menjadi karya
yang disodorkan Judi bersama kelompoknya, bank sampah Asri, Kelurahan Miji,
Kota Mojokerto diajang Lomba Cipta Kreatifitas Seni Daur Ulang Sampah, helatan
Bagian Pemerintahan Sekkota Mojokerto yang digelar di Balai Kota Graha Praja
Wijaya, Senin (8/10/2018).
Selain
topeng bak lukisan tiga dimensi, Judi juga mengusung kaligrafi berbahan kulit
telur dan vas bunga berbahan karton bekas kemasan air mineral.
Karya
Judi dan kelompoknya rupanya lebih menonjol ketimbang karya 17 kelompok peserta
lainnya. Desain, bentuk dan warna karyanya tampak apik dan rapi.
Judi
mengaku belum memberi bandrol untuk topeng berpigora yang ia sertakan dalam
lomba. Namun kaligrafi yang menurutnya laris manis disetiap pameran yang ia
ikuti, ia labeli harga Rp 250 ribu.
“Dua
ratus lima puluh ribu,” sebut Judi untuk karya kaligrafi yang jadi ikon
kelompoknya.
Beberapa
karya lain yang ia dokumentasi, seperti gantungan kunci dan aneka asesories
berbahan kulit dari sampah industri sepatu dan sandal, juga lanscape taman dari
limbah peti kayu, menunjukkan keseriusannya menekuni kerajinan daur ulang.
Judi
bilang, ia tak gamang jika karyanya harus beradu dengan produk massal atau
pabrikan. Apalagi produk daur ulang sudah jamak lantaran mudah ditemui di
setiap sudut pameran.
“Meski
berbahan daur ulang, kerajinan jenis ini ternyata cukup diminati,” ujarnya.
Menurut
Judi, sebelum menekuni kerajinan daur ulang, ia hanya mengandalkan
pendapatannya dari usaha rumah kos. Ia mulai terpikat menekuni kerajinan daur
ulang sejak tiga tahun lalu. “Banyak yang unik ketika kita menyentuh barang
bekas yang tak bernilai ekonomis namun sebenarnya masih bisa dimanfaatkan,” katanya.
Namun,
kemampuannya mengolah aneka limbah menjadi bernilai seni dan bernilai ekonomis
itu diakui didapat secara otodidak. “Tidak pernah belajar secara formal atau
mengikuti workshop. Ya belajar sendiri saja,” akunya.
Meski
demikian, pengalamannya sebagai desainer sepatu kala bekerja di pabrik sepatu
terbesar di Kota Mojokerto beberapa puluh tahun silam rupanya menjadi modal
kuat untuk mengembangkan kerajinan daur ulang.
Hanya
saja, sejauh ini karyanya masih ‘beredar’ di ranah lokal, belum sampai merambah
ke wilayah nasional, apalagi internasional. Namun ia tak ciut nyali.
“Masih
banyak yang bisa dikreasikan dan dikembangkan dari limbah daur ulang. Apalagi
peminat daur ulang sekarang sudah merambah kalangan menengah keatas. Mereka mulai
banyak menempatkan produk daur ulang di ruang kerja atau sudut utama rumah,”
ucapnya.
Tentunya
campurtangan pemerintah daerah setempat untuk lebih mendongkrak karya daur
ulang sampah melalui ekspo, bahkan jika mungkin dijadikan souvenir daerah, kata
Judi, akan menjadi stimulus tersendiri bagi para perajin daur ulang.
“Pada
saatnya, kerajinan daur ulang bukan lagi pekerjaan sampingan, tapi bisa jadi
mata pencaharian utama. Ini yang kita harapkan,” ucapnya. (one)
Social