foto ilustrasi/istimewa |
KAWASAN PULOREJO, Kelurahan Pulorejo, Kecamatan
Prajurit Kulon, Kota Mojokerto empat tahun silam dipetakan pemerintah setempat
sebagai Kampung Inggris. Namun, sampai saat ini atmosfer Pulorejo sebagai kampung
spesifik itu nyaris tak terasa. Masyarakat di kawasan ini pun kala berintraksi dan
berdialog tak bergeser dari bahasa daerahnya.
Adalah Mas’ud Yunus, Walikota Mojokerto saat itu
yang menggagas kawasan yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten Mojokerto itu
sebagai Kampung Inggris.
Meski yang ia besut
‘Kampung Inggris’ namun diverbalkan juga sebagai ‘Kampung Bahasa’. Mantan Ketua
Dewan Pendidikan Kabupaten Mojokerto itu sejatinya ingin membangun sebuah
struktur dan sebuah transformasi dari kebiasaan berbahasa lokal jadi berbahasa internasional.
Kampung Inggris dimaknakan sebagai area yang bisa memberi kontribusi
ketrampilan berbahasa baik lokal, nasional dan internasional. Ia ingin
membangun kampung dengan meningkatkan kualitas kehidupan di dalamnya.
Program Kampung Inggris diharapkan bisa menjadi magnet
bagi peminat bahasa dan budaya sekaligus menghapus stigma kampung pinggiran
yang kerap distempelkan terhadap wilayah Pulorejo.
Detik ketika ‘Kampung Inggris’ itu dimaklumkan 28
Nopember 2014 silam, tersirat keinginannya melambungkan nama Pulorejo seperti
halnya Kampung Inggris Pare, Kediri.
Skill bahasa Inggris yang ‘dibumikan’ di kampung
ini diharapkan diterima sebagai kebutuhan di lapis personal dan sosial.
Namun di tahun keempat, project pilot bernama
Kampung Inggris itu mulai tampak kelelahan untuk bertahan. Upaya seorang Mas’ud
Yunus dengan membentuk Kampung Inggris dengan tetap mempertahankan
parameter-parameter komunal agar cermin identitas kedaerahan tidak buram
lamat-lamat sepi dukungan.
Transisi berbahasa, juga obsesi menjadi bagian dari
masyarakat global di era MEA tidak saja butuh keseimbangan, namun juga harus
jelas ketika dihadapkan pada peta sosial budaya. Proses ini yang tak terang
juga arahnya.
Aktualisasi Pulorejo sebagai kampung yang ‘berbeda’
diantara ratusan kampung di Kota Mojokerto itu jadi bak sintesis. Ada batas
tafsir yang ia torehkan agar kampung itu bertautan dengan budaya asing tanpa
kehilangan ragam budaya lokal. Tetapi mental masyarakat sekitar rupanya belum
mengalir dalam instalasi bernama Kampung Inggris itu.
Ekspektasi besar menjadikan kawasan Pulorejo dengan
bahasa Inggris sebagai lingua franca dan bersejajar dengan dua kampung produktif
yang sudah lebih dahulu dibesutnya, yakni Kampung Batik Surodinawan dan Kampung
Sepatu Miji sebenarnya bukan tanpa dasar.
Infrastruktur dan sejumlah lembaga pendidikan
seperti pondok pesantren, sekolah umum SD – SMA / SMK, juga ‘saat itu’ rencana pendirian
Kampus PENS serta karakter masyarakat Pujorejo yang menjunjung tinggi
paguyuban, bukan masyarakat patembayan jadi kalkulasi logis membangun Kampung
Inggris.
Sayangnya enersi yang dihimpun, dari mendatangkan
native speaker hingga menggandeng Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif Nahdlatul
Ulama (NU) Jawa Timur, bintek bahasa hingga mencetak ‘guide’ kampung yang
kesemuanya untuk melipatgandakan eksistensi Kampung Inggris agaknya tidak cukup
untuk menggerakkan perubahan agar terbentuk paradigma baru tentang eloknya berada
di kawasan dengan berbahasa yang digunakan lebih dari 60 negara itu.
Kreativitas membentuk Kampung Inggris dengan mengeksplorasi
dan meletakkan semua varian itu, rupanya hanya bisa dikuantifikasi dalam
statistik sejumlah lembaga bimbingan bahasa (LBB) Inggris. Ada kegagapan,
bahkan berasa konstipasi ketika grafik kemampuan berbahasa Inggris masyarakat
Pulorejo dipertanyakan. Seperti kehilangan orientasi karena ada mentalitas
‘takut salah berbahasa’.
Kondisi itu rupanya yang ditangkap oleh Wakil
Walikota Mojokerto, Achmad Rizal Zakariah. Dalam sebuah perbincangan, ia yang
juga warga kampung Pulorejo mengaku belum melihat ada kebiasaan dan pembiasaan
dan gairah berbahasa Inggris di lingkungannya.
Tak ada apresiasi yang ia berikan, sebaliknya ada
sikap pesimis yang ia tunjukkan begitu membandingkan dengan kampung atau sentra
yang tumbuh natural. Memang yang natural tidak serta merta mendapat apreasiasi
lebih tinggi daripada hasil buatan. Namun dalam konteks Kampung Inggris
Pulorejo premis itu jadi bisa dibenarkan.
Soal ini pemangku kepentingan di bidang pendidikan
menyatakan, Kampung Inggris sampai saat ini tetap jalan. Ada target yang
dipasang sekaligus ditransformasikan. Pun akan ada fasilitas umum yang akan dibangun
untuk penunjang. Hanya saja, ada guratan tipis yang menggambarkan sikap pasrah,
jika saja Kampung Inggris itu oleh pengganti Mas’ud Yunus tak lagi dijamah.
Memang, ide Kampung Inggris, atau kampung spesifik lainnya hanya dapat
terselenggara jika tetap pada pijakan usaha intelektual yang berkelanjutan.
Meski tak sunyi, sulit
menemukan, apalagi menjamah corak yang kental yang benar-benar membedakan
Kampung Pulorejo dulu dan Kampung Inggris Pulorejo saat ini. Muncul penilaian,
ketidaksiapan masyarakat sekitar dalam menumbuhkan kesadaran kolektif untuk
menjaga dan menjadikan kampung mereka sebagai objek wisata edukasi, memberi
andil meredupnya Kampung Inggris itu sendiri. (ridwan)
Social