Wakil Bupati Mojokerto Pungkasiadi |
Mojokerto-(satujurnal.com)
Tim Penyidik KPK menggelar pemeriksaan sebagai
saksi terhadap sejumlah pejabat Pemkab Mojokerto dan pihak swasta secara
maraton di Aula Mapolresta Mojokerto, mulai Selasa (19/3/2019).
Pemeriksaan untuk melengkapi alat bukti dugaan tindak
pidana pencucian uang (TPPU) yang menjerat Bupati Mojokerto nonaktif Mustofa
Kamal Pasa (MKP) menyasar hampir seluruh pejabat Pemkab Mojokerto antara lain Wakil
Bupati Pungkasiadi, Sekdakab Heri Suwito, puluhan kepala dinas, badan dan
instansi, camat, juga sejumlah kontraktor dan manajemen Musika Grup, kelompok
perusahaan keluarga bupati dua periode tersebut.
Wakil Bupati Pungkasiadi yang menjalani
pemeriksaan, Rabu (27/3/2019), selama 6 jam mulai pukul 10.16 WIB hingga pukul
16.00 WIB mengaku menjawab 18 pertanyaan penyidik lembaga antirasuah itu.
Namun, pendamping MKP di periode kedua tersebut
mengaku hanya dimintai keterangan terkait kasus TPPU, sama sekali tidak disodori
pertanyaan penyidik KPK soal jual beli jabatan di lingkungan Pemkab Mojokerto. Ini lantaran Kasus TPPU yang didalami KPK itu
terjadi pada periode pertama jabatan MKP, tahun 2010 – 2015. Saat itu Wakil
Bupati Mojokerto dijabat Choirun Nisa.
"Saya kan belum (menjabat Wabup Mojokerto)
waktu itu. Saya tak ada pertanyaan itu (jual beli jabatan)," terang Pungkasiadi kepada
awak media di Mapolres Mojokerto Kota, Rabu (27/3/2019).
Ia mengaku sudah menjelaskan semua yang ia ketahui
ke penyidik KPK. Pun ia berharap tidak ada pemeriksaan lanjutan.
“Belum ada agenda (pemeriksaan lanjutan). Insya
Allah endak lah, sudah cukup saya berikan (keterangan) semua," tukasnya.
Selain memeriksa puluhan saksi, dalam kasus TPPU
tersebut, KPK juga melakukan penyitaan 3 unit mobil milik MKP, dua unit mobil
HR-V dan satu unit Nissan March. Ketiga unit mobil ini disita sebagai salah
satu barang bukti tindak pidana yang menjerat MKP.
Selain TPPU, MKP juga dijerat dengan sangkaan
gratifikasi terkait proyek-proyek di lingkungan Pemkab Mojokerto bersama-sama
Zaenal Abidin, Kepala Dinas PUPR Pemkab Mojokerto periode 2010-2015. Salah
satunya proyek pembangunan jalan pada 2015. Saat ditetapkan sebagai tersangka,
KPK menduga gratifikasi yang diterima keduanya Rp 3,7 miliar. Dalam proses
penyidikan, jumlah gratifikasi yang ditemukan bertambah hingga mencapai Rp 34
miliar.
Selain itu, uang hasil gratifikasi diduga disimpan melalui
sejumlah perusahaan milik keluarganya yakni Musika Group, antara lain CV. Musika,
PT Sirkah Purbantara dan PT Jisoelman Putra Bangsa dengan modus hutang bahan
atau beton.
Orang nomor satu di Mojokerto ini juga diduga telah
membelanjakan hasil penerimaan gratifikasi itu menjadi kendaraan roda empat
sebanyak 30 unit, kendaraan roda dua sebanyak 2 unit, jetski sejumlah 5 unit,
dan uang tunai Rp4,2 miliar. Semua pembelian menggunakan nama pihak lain.
Kasus TPPU yang menjerat MKP merupakan pengembangan
dari dua perkara yang menyeretnya sebagai tersangka.
Kasus pertama, yakni dugaan suap terkait pengurusan
izin prinsip pemanfaatan ruang (IPPR) dan izin mendirikan bangunan (IMB)
pembangunan menara telekomunikasi di Kabupaten Mojokerto tahun 2015.
MKP ditahan KPK sejak akhir April 2018 lalu. Di
awal September 2018, kasus MKP bergulir ke persidangan. Ia divonis majelis
hakim Pengadilan Tipikor Surabaya delapan tahun penjara, denda Rp 500 juta
subsider 4 bulan kurungan dan membayar uang pengganti Rp 2,75 miliar serta
pencabutan politik selama 5 tahun terhitung sejak ia selesai menjalani pidana
pokoknya. Vonis ini jauh lebih ringan dibandingkan tuntutan JPU KPK yang
menuntut mantan orang nomor satu di Pemkab Mojokerto tersebut pidana 12 tahun
penjara.
Atas putusan itu, MKP pilih banding. Pengadilan Tinggi
Surabaya akhirnya mengeluarkan putusan
atas banding yang menyatakan hukuman MKP menjadi tujuh tahun penjara, dari
sebelumnya delapan tahun penjara.
Selain pengurangan hukuman penjara, dalam putusan
majelis hakim Pengadilan Tinggi Surabaya tanggal 18 Maret 2019, Nomor
10/PID.SUS-TPK/2019/PT SBY, sebagaimana tertera dalam laman
http://sipp.pn-surabayakota.go.id, tidak ada yang berubah dalam putusan denda
dan uang pengganti seperti vonis yang dijatuhkan majelis hakim Tipikor
Surabaya, 21 Januari 2019 lalu. (one)
Social