Oleh : Bonnie Triyana
Kemarin saya berkunjung ke Mojokerto bertemu dan berdiskusi
dengan Walikota serta timnya. Mereka
punya dua kekayaan narasi sejarah, pertama tentu saja Majapahit dan kedua, yang
disadari belakangan oleh mereka adalah kisah masa kecil Bung Karno. Walikotanya,
Ika Puspitasari, baru saja dilantik enam bulan yang lalu, beritikad ubah kota lebih baik dan mengajak
komunitas warganya untuk berpartisipasi dalam memajukan kehidupan mereka
bersama.
Tadi malam sejumlah pegiat seni dan budaya berkumpul di
pekarangan rumah dinas walikota, semua dipersilahkan berdiskusi menumpahkan isi
kepala dan hatinya. Yang menarik ada pernyataan seorang seniman yang cemas atas
tuduhan mempraktikan hinduisme dan dituduh menyebarkan kegiatan yang berbau
syirik padahal motivasinya semata menggiatkan aktivitas seni budaya setempat.
Selain dia, banyak pegiat kebudayaan lain yang mengajukan ide dan membagi
kisahnya. Mereka semua punya harapan agar kualitas kehidupan warga kota
Mojokerto semakin membaik. Mereka juga sudah mulai memikirkan bagaimana
membangun ekosistem wisata yang bisa menggerakkan aktivitas ekonomi warga kota.
Hebatnya lagi sudah gagasan agar warga tak lagi beli air
minum kemasan melainkan langsung dari keran, seperti warga di kota-kota di
negara maju. Saya juga dibawa berkunjung ke dua bangunan sekolah di mana Bung
Karno pernah mengenyam masa pendidikan dasarnya, pertama di SD Purwotengah 1,
dulu Bung Karno pernah belajar selama 4 tahun di Sekolah Rakyat Mojokerto ini.
Kemudian dia pindah ke Europeesche Lagere School (ELS, Sekolah Dasar bagi Warga
Eropa) yang bangunannya kini menjadi SMPN 2 Kota Mojokerto.
Dalam kunjungan ini saya juga berkenalan dengan Pak
Djatikusumo, keponakan angkat Bung Karno. Dia adalah anak angkat Ibu Wardoyo,
kakak kandung Bung Karno. Usianya sudah 75 tahun namun masih segar bugar dan
masih bisa menceritakan pengalamannya bertemu dengan Bung Karno walaupun
peristiwanya sudah berlalu puluhan tahun yang lalu.
Sebelum pagi tadi pulang
menuju Jakarta, Mas Supriyadi, suami Ibu Walikota membawa saya berkunjung ke
Pak Djuhhari Witjaksono, berusia 89 tahun, yang mengabdikan separuh lebih
usianya sebagai pengrajin miniatur kapal. Dia tak main-main dengan
pekerjaannya. Kerap melakukan riset sebelum merekonstruksi miniatur kapal.
“Saya sampai pergi ke Museum Maritim di Amsterdam untuk melihat sendiri bentuk
kapal VOC dan membaca semua literatur mengenai kapal,” ujar lelaki kelahiran
Malang yang menjadi saksi revolusi kemerdekaan Indonesia itu.
Semua potensi warga itu hendak dikembangkan dan diperkuat
kapasitasnya melalui kerjasama pemerintah serta komunitas warga. Indonesia
memang masih remang-remang, kalau tidak cocok disebut gelap gulita, sehingga
banyak yang mengutuk kegelapan itu. Sah-sah saja. Tapi saya percaya masih ada
orang, diam-diam, menyalakan pelita agar perlahan atau cepat membuat negeri ini
semakin terang.
*) Penulis adalah
Sejarawan, Pimred historia.id
- Bonnie Triyana
, narasumber dialog budaya, Damaran Budaya Bareng Neng Ita, Kota Mojokerto, 24
Juli 2019
Social