Oleh
: Reni Puspitasari, SST
Ketahanan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) telah terbukti di tengah
badai krisis ekonomi. Berdasarkan buku Profil Bisnis Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia, pada masa krisis moneter tahun 1997 - 1998 ketika nilai mata
uang rupiah jauh melemah terhadap dollar, UMKM tetap dapat bertahan dan memutar
roda perekonomiannya dibandingkan perusahaan besar.
Menurut data Sensus Ekonomi (SE)
2016 yang diselenggarakan oleh Badan Pusat Statistik tahun 2016 silam, usaha
mikro kecil (UMK) di Kabupaten Jombang sangat mendominasi perekonomian di
Kabupaten Jombang. Jumlah UMK mencapai 159.468 unit (99,1 persen) sedangkan
jumlah usaha menengah besar (UMB) hanya sebanyak 1.401 unit (0,9 persen). Dari
jumlah unit usaha yang ini, UMK berhasil
menyerap tenaga kerja sebanyak 348.673 orang (85 persen) sedangkan UMB hanya mampu menampung 61.476
orang (15 persen) tenaga kerja. UMK
menunjukkan kinerja yang sangat baik dalam peran menjadi spons penyerap tenaga
kerja. Ditambah lagi Kabupaten Jombang yang tengah memasuki fase bonus
demografi, maka keberadaan UMK tentu
amat membantu mengurangi jumlah pengangguran.
Menyelami lebih lanjut UMK melalui
data SE2016, diperoleh informasi bahwa kategori penyediaan akomodasi dan
penyediaan makan minum (PAPMM) merupakan kategori terbesar kedua (19,7 persen)
setelah kategori lapangaan usaha perdagangan
(44,8 persen). Dalam hal penyerapan tenaga kerja, kategori PAPMM adalah kategori
penyerap ketiga terbanyak (14,2 persen) setelah perdagangan (36,8 persen) dan
industri pengolahan (17 persen).
Pada tahun 2018, berdasarkan
Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2018, diperoleh informasi
terbaru bahwa kategori PAPMM mampu memberikan lapangan usaha bagi 52.486 orang.
Angka ini merupakan yang terbesar ke empat setelah sektor pertanian, industri,
dan perdagangan.
Secara kasat mata, kategori PAPMM
di Kabupaten Jombang mayoritas adalah dari usaha penyediaan makan minum (PMM).
Di sepanjang jalan umum di pusat-pusat keramaian di tiap kecamatan maupun pusat kabupaten,
berderet-deret usaha PMM berdiri dan tidak pernah sepi pembeli dapat dengan
mudah ditemukan. Tersedia banyak ragam makanan
dan minuman yang menggoda selera dijual dengan harga relatif sangat
murah yang terjangkau oleh anak-anak sekolah.
Namun dibalik menjamurnya usaha PMM tersebut,
apakah pernah terpikirkan kualitas dari makanan dan minuman yang dijual? Apakah
terjamin kebersihannya? Apakah bahan-bahan yang digunakan aman untuk dikonsumsi?
Apakah proses memasaknya dilakukan dengan benar dan sehat?
Kita semua tidak ada yang tahu. Hampir bisa dipastikan seluruhnya tidak
memiliki ijin Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT) dari Dinas Kesehatan atau
ijin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Tidak ada yang bisa menjamin
kualitasnya. Penjual pun mungkin tidak terlalu memusingkan masalah ini. Yang
penting laris. Padahal makanan dan minuman pinggir jalan ini amat digemari oleh
anak-anak kita.
Sudah kita ketahui bersama, bahwa
beragam penyakit kronis bermula dari
pola hidup yang tidak sehat, salah satunya konsumsi makanan dan minuman
yang miskin gizi. Makanan minuman miskin
gizi biasanya malah mengandung zat-zat yang tidak baik untuk tubuh, seperti
kolesterol berlebih, karbohidrat kompleks, lemak
jenuh, bahkan tidak jarang mengandung zat kimia tambahan yang tidak diijinkan
digunakan dalam makanan. Pengabaian masalah higienitas dalam proses produksi maupun penyajian memperparah
kualitas makanan. Lalu bagaimana jika makanan dan minuman miskin gizi banyak
dikonsumsi oleh anak-anak kita?
Data dari RSUD Jombang dalam publikasi
Jombang Dalam Angka, menunjukkan bahwa selama periode tahun 2016 pasien rawat
jalan yang paling banyak adalah pasien dari unit pelayanan jantung dan pembuluh
darah (15,4 persen), disusul pelayanan
syaraf (12,1 persen), dan penyakit dalam (11,9 persen). Data tahun 2017
pun menunjukkan hal yang tidak jauh
berbeda. Selama 2017 pasien rawat jalan terbanyak adalah unit pelayanan
penyakit syaraf (14,5 persen), jantung
dan pembuluh darah (14 persen) dan
penyakit dalam (10,6 persen) dimana
ketiga jenis pelayanan ini adalah untuk penyakit kronis dan tidak
menular yang erat kaitannya dengan tekanan
darah tinggi dan kolesterol darah tinggi. Sejak tahun
2002 Badan Kesehatan Dunia (WHO) rupanya telah menaruh perhatian terhadap
penyakit-penyakit kronis seperti di atas. Dalam Laporan Kesehatan Dunia 2002 - Mengurangi Risiko, Mempromosikan Hidup Sehat, disebutkan bahwa tekanan darah tinggi dan kolesterol darah tinggi
berkaitan erat dengan konsumsi makanan berlemak, bergula dan asin yang
berlebihan.
Kembali lagi kepada makanan dan
minuman miskin gizi yang banyak digemari anak-anak kita, beberapa dekade depan tentu akan memicu muculnya bermacam
penyakit pada mereka. Jumlah penderita penyakit kronis sangat mungkin akan
meningkat secara drastis jika tidak dicegah mulai dari sekarang. Bagaimana
jadinya kondisi bangsa kita di masa depan, jika sumber daya manusianya banyak
mengidap penyakit-penyakit kronis.
Semua hal di atas dapat terjadi
karena disebabkan karena berbagai hal. Minimnya pengetahuan orang tua dan
pengawasan terhadap jajanan anak-anak, ketidakpedulian para penjual, kurangnya
perhatian dari sekolah dan kurangnya penyuluhan dari dinas terkait adalah
beberapa hal yang berkaitan satu sama lain secara tidak langsung. Namun minimnya
pengawasan makanan dari pihak terkait merupakan faktor utama tumbuh suburnya
pedagang-pedagang makanan minuman.
Kemudahan ijin bahkan tanpa memerlukan
ijin, mendorong masyarakat untuk menjual produk-produk makanan minuman secara
bebas. Setelah usaha penyediaan makan minum berdiri pun, tidak ada inspeksi
untuk mengontrol kualitas makanan
minuman yang dijual. Fenomena yang jauh berbeda terjadi di negara-negara
maju, dimana untuk membuka sebuah usaha kuliner banyak persyaratan ketat dan
sertifikasi yang harus dipenuhi. Faktor higienitas, keamanan, dan kesehatan
makanan menjadi isu utama pengawasan makanan. Penggemar film animasi SpongeBob SquarePants pasti tahu benar bahwa restoran Krusty Krab milik Mister Crab saja didatangi oleh inspektur kesehatan. Inspeksi ini
akan menentukan bagaimana kualitas dan kebersihan lingkungan maupun makanan
apakah layak dijual atau tidak.
Sebuah PR besar bagi kita semua,
utamanya pemerintah tentu saja. Bagaimana UKM-UKM yang bergerak di bidang
penyediaan makan minum tersebut dapat menjadi katup penyelamat perekonomian
tanpa menjelma menjadi silent killer. (*)
*) Penulis adalah Statistisi
Muda Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Jombang
Social