Mojokerto-(satujurnal.com)
Penjatuhan
sanksi kerja sosial dan denda administrasi dalam Peraturan Walikota Mojokerto
Nomor 55 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Walikota Mojokerto Nomor
47 Tahun 2020 Tentang Pedoman Tatanan Normal Baru Pada Kondisi Pandemi Corona
Virus Disease 2019 Di Kota Mojokerto menuai kritik tajam kalangan DPRD
setempat.
Sekretaris
Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kota Mojokerto, Febriana Meldyawati salah satunya.
Politisi
perempuan partai besutan Megawati Sukarno Putri ini menyebut, peraturan walikota
tidak masuk dalam sistem hirarki perundang-undangan Indonesia. Sehingga Perwali
55/2020 yang diterbitkan 7 Juli 2020 itu tidak bisa dijadikan dasar hukum sebagai
perangkat penertib pelanggar protokol kesehatan.
“Perwali
lebih bersifat juknis atau pengaturan teknis terkait Covid-19. Yang diutamakan
pembinaan dan pengawasan bukan sanksi. Sanksi pidana dan perdata diatur dalam
perda atau undang-undang,” kata Melda, sapaan akrab Febriana Meldyawati usai
gelar reses DPRD di kediamannya, jalan Kranggan Tengah, Kota Mojokerto, Rabu
(15/7/2020).
“Aturan
di Perwali memang tidak bisa menyatakan tentang sanksi hukum. Sanksi merupakan
pengurangan hak seseorang atau warga negara. Karena merupakan pengurangan hak,
produknya harus dihasilkan oleh pemerintah daerah dan DPRD dalam bentuk
peraturan daerah,” terang Sekretaris Komisi I DPRD Kota Mojokerto tersebut.
Implementasi
sanksi kerja sosial membersihkan fasilitas umum atau denda administratif
sebesar Rp 200 ribu bagi individu yang tidak menggunakan masker di ruang publik
seperti termaktub dalam Perwali 55/2020, ujar Melda, dipertanyakan warga
peserta reses. Warga gamang jika sanksi itu akan menjadi jadi beban.
Diingatkan,
ditengah pandemi virus corona, pemberlakuan sanksi administrasi berupa denda
seharusnya benar-benar memperhitungkan kondisi ekonomi masyarakat yang
terpuruk. Jika untuk efek jerah, tidak harus dengan sanksi denda.
“Penegakan
Perwali 55/2020 sebaiknya dilakukan dengan kerja pengawasan secara konsisten di
lapangan oleh Pemkot Mojokerto, tidak harus dengan sanksi,” cetus alumnus Fakultas Hukum Universitas
Surabaya (Ubaya) tersebut.
Menurutnya,
penjatuhan sanksi kerja sosial maupun denda seharusnya dihindari dalam proses penyusunan perwali.
Karena perwali tidak masuk dalam sistem hirarki perundang-undangan Indonesia, sebagaimana
ditetapkan sesuai UU No. 12 Tahun 2011 dengan perubahan UU No. 15 Tahun 2019.
Seperti
diketahui, jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
“Jika harus menerapkan sanksi dan denda harusnya
yang dibuat adalah Perda, bukan Perwali,” tandas anggota Dewan dua periode
tersebut.
Pembentukan
perda, katanya lebih lanjut, berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UUPPP) dan Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UUPD).
Ia
pun mendorong membentuk peraturan daerah. Perda dinilai lebih kuat dibandingkan
perwali karena juga termuat sebagai salah satu hierarki dalam UUPPP. Dan lagi,
Perwali 55/2020 mengatur tentang tindakan paksa mulai dari pembatasan kegiatan
usaha, penutupan atau penghentian sementara, pembubaran kegiatan, penyitaan KTP
hingga pencabutan izin usaha jika penanggungjawab kegiatan atau pelaku usaha
tidak menjalankan protokol kesehatan secara tepat.
“Agar
tidak menjadi sebuah masalah hukum, Pemkot sebaiknya segera merancang sebuah
perundangan dalam bentuk rancangan perda menyangkut tatanan new normal
menghadapi pandemi covid-19. Dengan membuat
aturan sanksi dalam bentuk perda, Pemkot Mojokerto memiliki dasar hukum yang
kuat dan lebih mengikat,” saran Melda. (one)
Social