PERTEMUAN RUTIN - SatuJurnal.com | Portal Berita Mojokerto, Jombang, Surabaya, Jawa Timur dan Nasional

PERTEMUAN RUTIN

PUCUK PIMPINAN eksekutif di tubuh Pemerintah Kota Mojokerto menawarkan pertemuan rutin dengan unsur pimpinan Dewan setempat plus ketua komisi dan fraksi. Frekuensinya, satu kali dalam sebulan.

Tak butuh waktu lama untuk menimbang, tawaran yang dimandatkan kepada Sekretariat DPRD saat rapat Badan Musyawarah (Banmus), 14 Agustus 2020 itu pun diamini. Gayung bersambut. 

Entah agenda itu muncul tiba-tiba sekedar merawat kebersamaan atau memang sudah dirancang lama, namun ‘Pertemuan Rutin’ tiba-tiba jadi tajuk baru di gedung Dewan yang muncul ditengah suara pansus yang mulai kencang dan diharapkan publik jadi lonceng penggugah kelemahan penanganan pandemi covid-19.

Apakah selama ini, eksekutif maupun legislatif sibuk dengan mekanismenya sendiri, dan tidak melihat adanya alternatif untuk mendekat, sehingga forum itu harus diadakan. Adakah perihal yang tajam untuk dibahas bersama? 

Hubungan yang mungkin sekarang ‘renggang’ memang patut untuk direkatkan, Gerak balik memang harus dilakukan jika kondisi itu kian tajam tergambar. Ini agar tidak terstigmasi secara sempit, semata urusan duabelah pihak itu jadi urusan ‘dinas’ belaka. 

Pertemuan rutin dua lembaga pemerintahan itu, selazimnya bentuk pertemuan, akan menjalankan fungsinya yang tidak akan pernah diambil alih oleh telepon, teleconference, daring atau instrumen teknologi informasi lainnya. 

Pada titik ini, mungkin membantu kita memahami arti pertemuan itu. Juga dengan melihat fungsi, bahwa tatap muka akan selalu berjalan lebih baik daripada perangkat komunikasi yang lebih baru sekalipun. 

Premis itu juga segaris dengan alasan yang dikemukakan legislatif memilih menerima tawaran itu. yakni agar setiap pertemuan dengan petinggi eksekutif tidak dimaknai secara negatif.

Kebutuhan untuk ‘merawat’ pertemuan itu jelas merupakan sesuatu yang lebih positif. Asal artikulasi dan domain yang dipilih dalam setiap pertemuan tidak bermuara pada kepentingan ‘stabilititas’. 

Para legislator pun harus mampu menjaga ‘garis demarkasi’ dengan tetap berpijak pada tiga fungsi yang melekat.

Tentunya, pertemuan itu juga bukan untuk membuktikan serenai tentang filosofi kopi sekedar membuka kliping tentang agenda-agenda yang terserak.

Meski suasana gayeng pastinya akan dibangun, namun poin-poin kritis dalam forum itu bisa saja muncul. Karena menjadi hal yang nyaris tidak mungkin, jika pada meja pertemuan para politisi yang terlibat akan menonaktifkan sikap politiknya.  

Dan pucuk pimpinan eksekutif yang notabene menginiasi pertemuan rutin itu tentunya berhasrat mengidentifikasi peluang agar posisi dua institusi dalam satu pemerintahan itu menjadi lebih konkrit dan sinergis, saling melengkapi. Kuncinya pada nalar komunikatif yang dibangun berdasar konsensus, bukan sesuatu yang niscaya.

Awam tentunya berharap agar rutinitas insitusional yang diputar berkala itu akan membawa kepentingan publik dan selalu diusung mengikuti dialog-dialog yang dibangun. 

Jika narasinya ‘pro rakyat’, maka setiap posibilitas harus diayun menjadi probabilitas, bahkan kepastian. Sesungguhnya itulah pesan ideal agar para pembuat kebijakan mampu mengolah legitimasi yang diberikan rakyat.

Yang paling tidak diharapkan publik, kesantunan dan idiom-idiom tatakrama yang terbangun dalam pertemuan rutin itu nantinya berbalik menyisihkan sikap kritis yang terinstalasi dalam kultur lembaga legislatif. 

Apalagi jika kata ‘pertemuan’ itu serasa hiperbolik dan membuat publik gerah, bahkan liar menafsirkan secara represif terhadap hal-hal yang memunculkan tanda petik soal siapa memperlakukan apa, akibat teraduknya kebenaran yang diucapkan namun sesungguhnya bukan kebenaran yang sudah dijalankan.

Ibarat orkestra, panggung pertemuan itu akan menjadi saksi dialektika. Ada harmoni dan instrumen di tataran empirik. Bisa mendayu-dayu atau tidak ditelinga publik terkembali pada cara masing-masing mengambil posisi secara kritis dan rasional. 

Pertemuan adalah arena status. Lalu silogisme yang terbangun,  apakah dialog-dialog yang terjadi nantinya bisa otentik? Apakah kemudian politik dikompromikan tatkala harus muncul kesepakatan ‘berembuk? Atau bahkan kepentingan politik diselisipkan dibawah meja pertemuan? Soal ini mungkin terlalu  tajam jika sekedar menghidupkan nalar berpikir secara deduktif. Tapi pemikiran demikian juga tidak terlalu prematur. Semoga saja tak ada yang tergoda untuk menangguk ‘keuntungan moral’ dibalik pertemuan rutin itu. (one)




Artikel terkait lainnya

Baca juga artikel ini

Copyright © SatuJurnal.com | Portal Berita Mojokerto, Jombang, Surabaya, Jawa Timur dan Nasional