Patung Soekarno Kecil dan Ingatan yang Terpilih - SatuJurnal.com | Portal Berita Mojokerto, Jombang, Surabaya, Jawa Timur dan Nasional

Patung Soekarno Kecil dan Ingatan yang Terpilih


DI HALAMAN
depan SDN Purwotengah, Jalan Taman Siswa, Kota Mojokerto, berdiri sebuah patung Soekarno kecil berbahan tembaga. Sosok ini tampak mengenakan jas, berjarit, berblangkon, menggenggam buku, dan berdiri tegak penuh percaya diri. Sebuah citra yang seolah ingin menyampaikan: pemimpin besar memang lahir sejak dini.


Namun, ada yang mengganjal. Mengapa Soekarno kecil digambarkan sebagai anak ningrat. Rapi, tenang, terdidik, dan aristokratik? 

Padahal dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, ia justru menggambarkan masa kecilnya di Mojokerto sebagai masa yang penuh kekurangan. Ia tinggal di rumah berdinding bambu, mandi di sungai, dan bahkan pernah menangis saat Lebaran karena tak mampu membeli petasan seharga satu sen.

“Betapa hancur-luluh rasa hatiku... semua kawan-kawanku dapat membeli petasan... dan aku tidak!”

Kisah itu jujur, getir, dan manusiawi. Tapi patung yang kini berdiri di depan galeri justru menyampaikan narasi yang berbeda. Maka pertanyaannya: kisah mana yang sedang diwariskan kepada generasi baru?

Buku karya Cindy Adams itu kerap dijadikan acuan utama narasi masa kecil Soekarno di Mojokerto. Namun dalam kajian historiografi, karya ini tidak tergolong sebagai autobiografi otentik karena ditulis oleh pihak ketiga dan sarat dramatika. Tidak ada penyebutan langsung nama sekolah, nama guru, atau arsip kolonial yang mengonfirmasi keberadaan Koesno (nama kecil Soekarno) di SDN Purwotengah. Narasi ini lebih bersifat memoratif ketimbang faktual.

Di tengah celah historiografis inilah Galeri Soekarno Kecil dibangun. Pemerintah Kota Mojokerto mencoba menguatkan dugaan historis melalui penemuan dokumen penempatan Raden Soekemi, ayah Sukarno, sebagai mantri guru pada 1909. Buku induk SDN Purwotengah yang ditemukan pun berasal dari tahun 1947, jauh setelah masa kecil Soekarno. Maka, narasi yang dibangun tetap berpijak pada interpretasi, bukan verifikasi.

Galeri Soekarno Kecil akhirnya berdiri sebagai ruang edukasi sejarah berbasis memori. Ia bukan situs bukti, melainkan ruang refleksi, tentang bagaimana sejarah dibangun bukan hanya dari yang tertulis, tetapi juga dari yang diingat dan diwariskan.

Namun di titik ini pula patut dipertanyakan. Apakah galeri ini sungguh menjadi ruang edukasi, atau justru ruang glorifikasi? Sebab sejarah bukan hanya soal siapa yang kita kenang, tetapi juga bagaimana kita mengingat mereka.

Patung adalah pernyataan visual. Ia memilih satu versi dari sekian banyak kemungkinan masa lalu. Tapi sejarah, terlebih yang menyangkut tokoh besar seperti Soekarno, tidak pernah sesederhana itu. Ia tidak dilahirkan sebagai pemimpin, melainkan ditempa oleh kehidupan rakyat jelata, oleh rasa malu, lapar, dan ketidakadilan. Dan dari sanalah muncul kepekaan dan tekad untuk mengubah dunia.

Tentu tidak ada yang keliru dalam membangun galeri atau patung. Tapi ketika versi yang ditonjolkan terlalu mulus, terlalu elitis, terlalu “ideal”, maka yang kita bangun bukan sejarah, melainkan dongeng. Dan dongeng, dalam konteks sejarah bangsa, bisa menjadi jebakan.

Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon telah meresmikan galeri ini pada 10 Juni 2025. Sebagai seorang yang akrab dengan sejarah dan buku, ia tentu paham bahwa sejarah yang baik tak selalu tampil indah. Kadang ia kotor, getir, dan penuh luka. Tapi di situlah letak kekuatannya, ia manusiawi.

Jika galeri ini ingin menjadi ruang edukasi yang sejati, maka ia harus berani merayakan kerapuhan, bukan hanya kebesaran. Ia harus jujur bahwa Soekarno kecil bukan putra ningrat, tapi anak dari rakyat. Dan dari rahim rakyat itulah keberanian sejati lahir.


Citra Pemimpin dan Konstruksi Memori

Representasi Soekarno kecil yang serba tertata dan nyaris aristokratik bukan sekadar kekeliruan visual. Ia mencerminkan kecenderungan kolektif kita untuk mengukir sejarah dalam bentuk idealisasi. Patung itu bukan hanya menggambarkan seorang anak, melainkan juga menanamkan harapan tentang sosok pemimpin: kuat, cerdas sejak belia, berpenampilan anggun, dan menggenggam buku, simbol pengetahuan dan kemajuan.

Dalam konstruksi ini, realitas getir masa kecil Soekarno menjadi kurang fotogenik. Rumah berdinding bambu, rasa iri terhadap petasan teman, dan kehidupan sebagai anak rakyat jelata seolah hanya layak menjadi catatan kaki. Padahal justru di sanalah letak kekuatan ceritanya: Soekarno adalah anak dari rakyat biasa yang mendaki dari lorong sempit menuju panggung sejarah dunia.

Fenomena ini bukan monopoli Indonesia. Banyak bangsa membangun monumen yang tidak selalu setia pada kenyataan historis, melainkan pada kebutuhan psikologis kolektif. Tapi ketika patung-patung itu terlalu jauh dari kenyataan, kita perlu waspada: jangan sampai sejarah berubah dari pengingat menjadi penghibur, dari pelajaran menjadi legenda.

Maka penting untuk terus menggali narasi alternatif, yang jujur, manusiawi, dan membumi. Narasi yang menjadi oase di tengah lautan glorifikasi. Bung Karno sendiri menegaskan bahwa pemimpin besar tidak selalu lahir dari lingkungan besar.

Galeri Soekarno Kecil telah berdiri megah, dan patungnya tegak menjulang. Tapi tugas kita bukan hanya merayakan kebesaran masa lalu, melainkan juga mengingat jalan terjal yang pernah dilalui. Agar generasi baru tahu: menjadi besar bukan soal keturunan atau tampilan, melainkan tentang keberanian melawan batas. (ridwan)


Artikel terkait lainnya

Baca juga artikel ini

Copyright © SatuJurnal.com | Portal Berita Mojokerto, Jombang, Surabaya, Jawa Timur dan Nasional